“Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup manusia, atau praktiknya bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan." (Bung Karno)
PERNYATAAN Bung Karno yang saya nukil untuk mengawali tulisan ini disampaikan saat berpidato pada penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di UGM, 19 September 1951.
Saya kira maknanya sejalan dengan konsep “kampus berdampak” yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek).
Pak Menteri Brian Yuliarto tampaknya tak mau kampus hanya menjadi “menara gading”. Ia mungkin risih, kampus hanya berlomba banyak-banyakan publikasi internasional, berebut peringkat dunia. Itu pun tak jarang ditempuh tanpa mengindahkan moral akademik.
Sementara itu, rakyat yang sebagian keringatnya diperas untuk menghidupi kampus tak merasakan buahnya. Kampus terasing dari masyarakatnya.
Karena itu, kampus harus menjadi “menara air”. Pak Menteri menawarkan gagasan “kampus berdampak”.
Kampus tidak boleh hanya menghasilkan lulusan, publikasi, dan ranking global, tetapi harus mentransformasi kehidupan masyarakat.
Kampus mesti hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai suluh peradaban, menerangi jalan, menyatukan harapan, dan menjadi ruang bagi tumbuhnya perubahan.
Baca juga: Negeri yang Menolak Pensiun
Peradaban manusia niscaya terus tumbuh-berkembang. Di balik proses tumbuh-berkembang itu terdapat kekuatan pendorong yang sangat penting, yakni komunitas kecil yang oleh Arnold J. Toynbee, sejarahwan Inggris, disebut “minoritas kreatif” (creative minority).
Peradaban yang gilang-gemilang, kata Toynbee, lahir bukan dari kelompok mayoritas atau superior, tapi dari kelompok minoritas yang kreatif.
Mereka adalah individu atau kelompok kecil yang memiliki kelebihan tertentu, baik moral maupun intelektual, sehingga memiliki wibawa dan pengaruh dalam masyarakat.
Penggerak dan pencipta kebudayaan adalah orang-orang kreatif dengan jumlah kecil. Kaum minoritas kreatif ini, karena tantangan zamannya, melahirkan pemikiran-pemikiran yang berujung pada perubahan kebudayaan.
Saya kira, kampus adalah rumah bagi minoritas kreatif sebagaimana dilukiskan Toynbee. Di sanalah tantangan zaman dibaca dan dipikirkan secara merdeka, kritis dan kreatif. Di sana pula gagasan-gagasan pembaruan disuarakan melalui beragam cara.
Tak ada kebenaran mutlak bagi minoritas kreatif. Orang-orang kampus senantiasa menempatkan suatu temuan (tesis) sebagai hipotesis.
Kebenaran temuan itu bersifat sementara dan setiap saat siap digugurkan. Kultur inilah yang membuat kampus sebagai rumah kreatif bagi minoritas kreatif.
Sejarah Indonesia membuktikannya. Bangsa Indonesia dengan segenap piranti ketatanegaraannya jelas-jelas karya kaum minoritas kreatif yang bermula dari kampus.
Para tokoh pergerakan nasional – Soetomo, Tjipto, Tirto, Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan kawan-kawan – adalah minoritas kreatif tempaan pendidikan tinggi.
Mereka memikirkan keadaan masyarakat dengan menanggalkan hak-hak istimewa yang diberikan pemerintah kolonial. Mereka menulis dan berdebat tentang masyarakat jajahan dan tantangannya.
Mereka menggagas “bangsa” dan memikirkan kemerdekaannya. Mereka juga menyiapkan pranata kenegaraan baru untuk komunitas kebangsaan yang disebut Indonesia.
Sejarahwan Jepang, Takashi Shiraishi, melukiskan dinamika kaum pergerakan dalam menanggapi kehidupan awal abad ke-20 dengan sebutan “zaman bergerak”.