PERINGATAN Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025, bukan hanya menjadi momen mengenang sejarah kelahiran dasar negara.
Lebih dari itu, harus dijadikan ruang reflektif kolektif untuk menegaskan kembali Pancasila sebagai rumah pengetahuan bagi warga dan kerangka berpikir bangsa Indonesia dalam menghadapi realitas global.
Dalam peta dinamika global terkini, kita menyaksikan fenomena menarik terkait kondisi kewargaan di Indonesia yang terkesan paradoksal.
Di satu sisi, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling sejahtera di dunia menurut studi Global Flourishing Study (GFS) yang dilakukan oleh Universitas Harvard, Universitas Baylor, dan Gallup.
Baca juga: Paradoks Bahagia: Indonesia dan Peta Baru Kesejahteraan Dunia
Studi tersebut mendefinisikan flourishing sebagai kondisi sejahtera yang mencakup kebahagiaan, kesehatan fisik-mental, makna hidup, karakter, dan hubungan sosial.
Pencapaian ini cukup mengejutkan, mengingat posisi Indonesia mengungguli banyak negara maju yang selama ini dianggap memiliki standar hidup lebih tinggi.
Namun, di sisi lain, laporan Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa 171,8 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan angka itu, berarti lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia hidup miskin.
Paradoks antara capaian kesejahteraan versi Global Flourishing Study dan kenyataan kemiskinan struktural yang dilaporkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa kita hidup dalam realitas yang terbelah antara narasi dan fakta, antara potensi dan implementasi.
Meminjam istilah Johannes Jaeger melalui An Epistemology for Democratic Citizen Science, upaya untuk mendiversifikasi paradoks ini perlu suatu gerakan yang disebut sains warga yang demokratis (democratic citizen science), yang dapat menjadi model bagi penyelidikan ilmiah secara umum.
Sayangnya, pandangan kita tentang sains saat ini masih dibayangi oleh gagasan usang tentang produksi pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada sistem riset dengan obsesi berlebihan terhadap efisiensi jangka pendek.
Apa yang ditawarkan oleh studi flourishing sejatinya memperkuat validitas dan relevansi Pancasila dalam konteks global saat ini.
Di tengah realitas dunia yang mengalami disorientasi nilai, krisis ekologis, kesenjangan sosial, dan kehampaan makna hidup, Pancasila hadir sebagai tawaran filosofis yang bersifat holistik, bukan hanya etis, tetapi juga epistemologis.
Dalam lintasan sejarahnya, dinamika kebangsaan Indonesia telah mengalami pasang surut interpretasi, seiring dengan berbagai tantangan zaman yang memengaruhi identitas serta arah peradaban bangsa.
Sebagai bangsa yang hidup dalam keberagaman budaya, etnis, dan agama, Indonesia menghadapi kompleksitas sosial yang luar biasa.
Namun, keberagaman ini bukan penghalang, melainkan fondasi untuk membangun masyarakat yang inklusif dan bermartabat.