Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Pancasila: Cahaya dari yang Terlupa

Kompas.com - 01/06/2025, 13:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANCASILA bukan sekadar lima sila yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ia adalah cahaya nilai yang bersumber dari sejarah, pengalaman kolektif, dan harapan bangsa ini.

Namun, seperti cahaya yang terlalu lama dianggap biasa, ia mulai redup dalam pandangan banyak warga. Tak terlihat, tak disapa, dan perlahan-lahan terlupa.

Setiap tanggal 1 Juni, negeri ini menggelar upacara, seminar, dan parade simbolik. Presiden berpidato, para pejabat mengunggah ucapan, dan sekolah-sekolah menyusun perlombaan bertema nasionalisme.

Namun, jauh di balik gegap gempita itu, ada ruang kosong di dalam benak generasi, di mana Pancasila tak lagi dikenang sebagai nilai yang hidup, melainkan hanya bagian dari pelajaran kewarganegaraan.

Filsuf Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963) menulis tentang banalitas kejahatan—bagaimana kejahatan besar bisa terjadi bukan karena niat jahat luar biasa, tetapi karena ketiadaan perenungan.

Baca juga: Pancasila dan Paradoks Kewargaan

Dalam konteks bangsa ini, banalitas bukan terletak pada kejahatan, tetapi pada pelupaan nilai. Pancasila bukan dilawan, tetapi diabaikan. Dan pengabaian itu jauh lebih berbahaya.

Di ruang politik, Pancasila kerap dijadikan jargon kosong. Partai-partai mengklaim dirinya pancasilais, sementara praktik kekuasaan mereka jauh dari nilai keadilan sosial atau kemanusiaan yang adil dan beradab.

Di tengah meningkatnya intoleransi, diskriminasi, dan ketimpangan sosial, sila pertama dan kedua seakan kehilangan daya hidupnya.

Ketika kemanusiaan hanya sebatas retorika, dan keadilan menjadi hak istimewa, maka Pancasila tak lagi menjadi pelita, melainkan poster yang lusuh.

Dari tekstual ke eksistensial

Kita telah terlalu lama menjadikan Pancasila sebagai teks mati. Ia dibacakan, dihafalkan, dimasukkan dalam kurikulum, tetapi tidak dihidupi.

Ia tak lagi menuntun tindakan, tak lagi menjadi neraca etis dalam pengambilan kebijakan, apalagi dalam relasi sosial sehari-hari.

Padahal, seperti yang diajarkan oleh para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Søren Kierkegaard, nilai hanya bermakna jika ia menjelma dalam tindakan konkret.

Sebuah sila tentang "persatuan Indonesia" tidak berarti jika setiap momentum politik justru memecah belah masyarakat.

Sila tentang "keadilan sosial" menjadi paradoks ketika ketimpangan ekonomi justru meningkat, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan bergantung pada kelas sosial.

Baca juga: Pancasila, Indonesia Raya, dan Kampus Berdampak

Pancasila perlu ditarik dari ruang hafalan ke ruang keberanian moral. Ia bukan hanya dasar negara, tetapi juga dasar keberadaan manusia Indonesia. Ia adalah kompas batin, bukan sekadar dokumen kenegaraan.

Halaman:


Terkini Lainnya
Tambang Nikel di Pulau Batang Pele Raja Ampat Ada di Hutan Lindung
Tambang Nikel di Pulau Batang Pele Raja Ampat Ada di Hutan Lindung
Nasional
Pemerintah Sebut Tambang Nikel Pulau Kawei Raja Ampat Melebihi Batas
Pemerintah Sebut Tambang Nikel Pulau Kawei Raja Ampat Melebihi Batas
Nasional
Menteri LH: Izin Lingkungan Tambang Raja Ampat Diterbitkan Bupati pada 2006
Menteri LH: Izin Lingkungan Tambang Raja Ampat Diterbitkan Bupati pada 2006
Nasional
Pemerintah Perkarakan Pencemaran Pulau Manuran Raja Ampat ke Ranah Hukum
Pemerintah Perkarakan Pencemaran Pulau Manuran Raja Ampat ke Ranah Hukum
Nasional
Anggota DPR Sebut Tambang Ilegal Papua Dibekingi Aparat, TNI: Laporkan!
Anggota DPR Sebut Tambang Ilegal Papua Dibekingi Aparat, TNI: Laporkan!
Nasional
Sejumlah Jemaah Haji RI Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf
Sejumlah Jemaah Haji RI Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf
Nasional
Penulis Ulang Sejarah RI: Tone Positif Tak Berarti Gelapkan Hal Jelek
Penulis Ulang Sejarah RI: Tone Positif Tak Berarti Gelapkan Hal Jelek
Nasional
Urus Udara Jakarta yang Memprihatinkan, Menteri LH Belum ke Raja Ampat
Urus Udara Jakarta yang Memprihatinkan, Menteri LH Belum ke Raja Ampat
Nasional
Dukung Penutupan Tambang Nikel di Raja Ampat, Lamhot Sinaga: Keindahan Alam dan Kekayaan Hayati Harus Dilestarikan
Dukung Penutupan Tambang Nikel di Raja Ampat, Lamhot Sinaga: Keindahan Alam dan Kekayaan Hayati Harus Dilestarikan
Nasional
Eks Kepala PPATK Salut Djaka Budi Utama Terima Jabatan Dirjen Bea Cukai
Eks Kepala PPATK Salut Djaka Budi Utama Terima Jabatan Dirjen Bea Cukai
Nasional
Menteri LH Perlihatkan Foto Tambang di Raja Ampat, Begini Kondisinya
Menteri LH Perlihatkan Foto Tambang di Raja Ampat, Begini Kondisinya
Nasional
Menteri LH: Pantai Pulau Manuran Raja Ampat Keruh karena Tambang Nikel
Menteri LH: Pantai Pulau Manuran Raja Ampat Keruh karena Tambang Nikel
Nasional
Perusahaan Fashion Irlandia Gugat Merk “Primark” Milik Warga Gambir
Perusahaan Fashion Irlandia Gugat Merk “Primark” Milik Warga Gambir
Nasional
Letak Pulau Gag di Raja Ampat yang Disorot karena Tambang Nikel
Letak Pulau Gag di Raja Ampat yang Disorot karena Tambang Nikel
Nasional
Pemerintah Tinjau Kembali Persetujuan Lingkungan 4 Tambang di Raja Ampat
Pemerintah Tinjau Kembali Persetujuan Lingkungan 4 Tambang di Raja Ampat
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau