PANCASILA bukan sekadar lima sila yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ia adalah cahaya nilai yang bersumber dari sejarah, pengalaman kolektif, dan harapan bangsa ini.
Namun, seperti cahaya yang terlalu lama dianggap biasa, ia mulai redup dalam pandangan banyak warga. Tak terlihat, tak disapa, dan perlahan-lahan terlupa.
Setiap tanggal 1 Juni, negeri ini menggelar upacara, seminar, dan parade simbolik. Presiden berpidato, para pejabat mengunggah ucapan, dan sekolah-sekolah menyusun perlombaan bertema nasionalisme.
Namun, jauh di balik gegap gempita itu, ada ruang kosong di dalam benak generasi, di mana Pancasila tak lagi dikenang sebagai nilai yang hidup, melainkan hanya bagian dari pelajaran kewarganegaraan.
Filsuf Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963) menulis tentang banalitas kejahatan—bagaimana kejahatan besar bisa terjadi bukan karena niat jahat luar biasa, tetapi karena ketiadaan perenungan.
Baca juga: Pancasila dan Paradoks Kewargaan
Dalam konteks bangsa ini, banalitas bukan terletak pada kejahatan, tetapi pada pelupaan nilai. Pancasila bukan dilawan, tetapi diabaikan. Dan pengabaian itu jauh lebih berbahaya.
Di ruang politik, Pancasila kerap dijadikan jargon kosong. Partai-partai mengklaim dirinya pancasilais, sementara praktik kekuasaan mereka jauh dari nilai keadilan sosial atau kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di tengah meningkatnya intoleransi, diskriminasi, dan ketimpangan sosial, sila pertama dan kedua seakan kehilangan daya hidupnya.
Ketika kemanusiaan hanya sebatas retorika, dan keadilan menjadi hak istimewa, maka Pancasila tak lagi menjadi pelita, melainkan poster yang lusuh.
Kita telah terlalu lama menjadikan Pancasila sebagai teks mati. Ia dibacakan, dihafalkan, dimasukkan dalam kurikulum, tetapi tidak dihidupi.
Ia tak lagi menuntun tindakan, tak lagi menjadi neraca etis dalam pengambilan kebijakan, apalagi dalam relasi sosial sehari-hari.
Padahal, seperti yang diajarkan oleh para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Søren Kierkegaard, nilai hanya bermakna jika ia menjelma dalam tindakan konkret.
Sebuah sila tentang "persatuan Indonesia" tidak berarti jika setiap momentum politik justru memecah belah masyarakat.
Sila tentang "keadilan sosial" menjadi paradoks ketika ketimpangan ekonomi justru meningkat, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan bergantung pada kelas sosial.
Baca juga: Pancasila, Indonesia Raya, dan Kampus Berdampak
Pancasila perlu ditarik dari ruang hafalan ke ruang keberanian moral. Ia bukan hanya dasar negara, tetapi juga dasar keberadaan manusia Indonesia. Ia adalah kompas batin, bukan sekadar dokumen kenegaraan.