"Kalau kita memilih demokrasi, hendaklah jangan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang hidup …." (Soekarno, Pidato 1 Juni 1945).
SETIAP tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—ideologi pemersatu yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, di tengah gegap gempita seremoni, kita seolah lupa menengok luka yang menganga dalam tubuh demokrasi elektoral lokal: Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 yang masif terjadi akibat cacat etika dan prosedural.
Hingga akhir Mei 2025, sebanyak 22 dari 24 daerah yang digugat dan diadili di Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pemungutan suara ulang (PSU).
Ini tentu bukan soal teknis administratif belaka. Melebihi itu, pertanda demokrasi lokal sedang digerogoti dari dalam—oleh praktik curang yang (cenderung) didiamkan, dan nilai-nilai Pancasila yang terpinggirkan.
Fenomena PSU ini menyingkap krisis ganda: krisis teknokrasi dan krisis moral. Politik uang, manipulasi suara, hingga pelanggaran prosedural menjadi penyakit musiman yang tak kunjung sembuh.
Bahkan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan secara gamblang bahwa praktik curang tak hanya terjadi saat Pilkada reguler, tapi juga dalam pelaksanaan PSU.
Baca juga: Pilkada Barito Utara: Peluit MK soal Alarm Demokrasi Elektoral
Artinya, peluang “kesempatan kedua” justru dimanfaatkan untuk mengulangi kejahatan elektoral yang sama.
Padahal, sila keempat Pancasila—"kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"—seharusnya menjadi kompas moral dalam setiap kontestasi elektoral. Namun praktiknya, demokrasi lokal justru tercerabut dari nilai-nilai itu.
Permusyawaratan berubah menjadi transaksi, kebijaksanaan ditukar dengan kalkulasi elektabilitas, dan perwakilan rakyat dibajak oleh elitisme uang. Ini menambah keprihatinan atas evaluasi Pemilu 2024 yang digelar sebelumnya.
Meminjam teori dekonstruksi Jacques Derrida (1976), struktur yang tampak mapan kerap menyimpan kontradiksi internal. Demokrasi elektoral Indonesia hari ini layak dibaca dalam optik itu: tampak prosedural, tapi nirsubstansi.
Seharusnya, PSU menjadi koreksi terhadap ketidakadilan, bukan tergelincir ke pentas baru untuk mengulang dosa yang sama—dengan cara yang lebih rapi, lebih tersembunyi, dan acapkali dalam sunyi.
Lihat saja kasus PSU di Kabupaten Serang, Banten. Bawaslu mengamankan 12 orang yang diduga melakukan praktik politik uang.
Sementara di Barito Utara, Kalimantan Tengah, PSU bahkan digelar dua kali dan berujung pada diskualifikasi seluruh pasangan calon. Fenomena ini bukan hanya kegagalan prosedur, tetapi pengkhianatan terhadap prinsip keadilan demokrasi.
Konsep keadilan elektoral pun menjadi krusial di sini. International IDEA (2012) menyatakan: keadilan elektoral tak sekadar soal kelengkapan administrasi, tetapi mencakup jaminan integritas, kesetaraan, dan kebebasan dalam seluruh tahapan.