Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Dirgantara
Peneliti Hukum dan Direktur PT. Gajah Mada Analitika

Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

Pancasila di Balik Kotak Suara

Kompas.com - 02/06/2025, 16:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Kalau kita memilih demokrasi, hendaklah jangan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang hidup …." (Soekarno, Pidato 1 Juni 1945).

SETIAP tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—ideologi pemersatu yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, di tengah gegap gempita seremoni, kita seolah lupa menengok luka yang menganga dalam tubuh demokrasi elektoral lokal: Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 yang masif terjadi akibat cacat etika dan prosedural.

Hingga akhir Mei 2025, sebanyak 22 dari 24 daerah yang digugat dan diadili di Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pemungutan suara ulang (PSU).

Ini tentu bukan soal teknis administratif belaka. Melebihi itu, pertanda demokrasi lokal sedang digerogoti dari dalam—oleh praktik curang yang (cenderung) didiamkan, dan nilai-nilai Pancasila yang terpinggirkan.

Demokrasi yang tercerabut

Fenomena PSU ini menyingkap krisis ganda: krisis teknokrasi dan krisis moral. Politik uang, manipulasi suara, hingga pelanggaran prosedural menjadi penyakit musiman yang tak kunjung sembuh.

Bahkan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan secara gamblang bahwa praktik curang tak hanya terjadi saat Pilkada reguler, tapi juga dalam pelaksanaan PSU.

Baca juga: Pilkada Barito Utara: Peluit MK soal Alarm Demokrasi Elektoral

 

Artinya, peluang “kesempatan kedua” justru dimanfaatkan untuk mengulangi kejahatan elektoral yang sama.

Padahal, sila keempat Pancasila—"kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan"—seharusnya menjadi kompas moral dalam setiap kontestasi elektoral. Namun praktiknya, demokrasi lokal justru tercerabut dari nilai-nilai itu.

Permusyawaratan berubah menjadi transaksi, kebijaksanaan ditukar dengan kalkulasi elektabilitas, dan perwakilan rakyat dibajak oleh elitisme uang. Ini menambah keprihatinan atas evaluasi Pemilu 2024 yang digelar sebelumnya.

Meminjam teori dekonstruksi Jacques Derrida (1976), struktur yang tampak mapan kerap menyimpan kontradiksi internal. Demokrasi elektoral Indonesia hari ini layak dibaca dalam optik itu: tampak prosedural, tapi nirsubstansi.

Seharusnya, PSU menjadi koreksi terhadap ketidakadilan, bukan tergelincir ke pentas baru untuk mengulang dosa yang sama—dengan cara yang lebih rapi, lebih tersembunyi, dan acapkali dalam sunyi.

Lihat saja kasus PSU di Kabupaten Serang, Banten. Bawaslu mengamankan 12 orang yang diduga melakukan praktik politik uang.

Sementara di Barito Utara, Kalimantan Tengah, PSU bahkan digelar dua kali dan berujung pada diskualifikasi seluruh pasangan calon. Fenomena ini bukan hanya kegagalan prosedur, tetapi pengkhianatan terhadap prinsip keadilan demokrasi.

Pancasila dan keadilan elektoral

Konsep keadilan elektoral pun menjadi krusial di sini. International IDEA (2012) menyatakan: keadilan elektoral tak sekadar soal kelengkapan administrasi, tetapi mencakup jaminan integritas, kesetaraan, dan kebebasan dalam seluruh tahapan.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya
Tambang Nikel di Pulau Batang Pele Raja Ampat Ada di Hutan Lindung
Tambang Nikel di Pulau Batang Pele Raja Ampat Ada di Hutan Lindung
Nasional
Pemerintah Sebut Tambang Nikel Pulau Kawei Raja Ampat Melebihi Batas
Pemerintah Sebut Tambang Nikel Pulau Kawei Raja Ampat Melebihi Batas
Nasional
Menteri LH: Izin Lingkungan Tambang Raja Ampat Diterbitkan Bupati pada 2006
Menteri LH: Izin Lingkungan Tambang Raja Ampat Diterbitkan Bupati pada 2006
Nasional
Pemerintah Perkarakan Pencemaran Pulau Manuran Raja Ampat ke Ranah Hukum
Pemerintah Perkarakan Pencemaran Pulau Manuran Raja Ampat ke Ranah Hukum
Nasional
Anggota DPR Sebut Tambang Ilegal Papua Dibekingi Aparat, TNI: Laporkan!
Anggota DPR Sebut Tambang Ilegal Papua Dibekingi Aparat, TNI: Laporkan!
Nasional
Sejumlah Jemaah Haji RI Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf
Sejumlah Jemaah Haji RI Tak Dapat Tenda, Ketua PPIH Minta Maaf
Nasional
Penulis Ulang Sejarah RI: Tone Positif Tak Berarti Gelapkan Hal Jelek
Penulis Ulang Sejarah RI: Tone Positif Tak Berarti Gelapkan Hal Jelek
Nasional
Urus Udara Jakarta yang Memprihatinkan, Menteri LH Belum ke Raja Ampat
Urus Udara Jakarta yang Memprihatinkan, Menteri LH Belum ke Raja Ampat
Nasional
Dukung Penutupan Tambang Nikel di Raja Ampat, Lamhot Sinaga: Keindahan Alam dan Kekayaan Hayati Harus Dilestarikan
Dukung Penutupan Tambang Nikel di Raja Ampat, Lamhot Sinaga: Keindahan Alam dan Kekayaan Hayati Harus Dilestarikan
Nasional
Eks Kepala PPATK Salut Djaka Budi Utama Terima Jabatan Dirjen Bea Cukai
Eks Kepala PPATK Salut Djaka Budi Utama Terima Jabatan Dirjen Bea Cukai
Nasional
Menteri LH Perlihatkan Foto Tambang di Raja Ampat, Begini Kondisinya
Menteri LH Perlihatkan Foto Tambang di Raja Ampat, Begini Kondisinya
Nasional
Menteri LH: Pantai Pulau Manuran Raja Ampat Keruh karena Tambang Nikel
Menteri LH: Pantai Pulau Manuran Raja Ampat Keruh karena Tambang Nikel
Nasional
Perusahaan Fashion Irlandia Gugat Merk “Primark” Milik Warga Gambir
Perusahaan Fashion Irlandia Gugat Merk “Primark” Milik Warga Gambir
Nasional
Letak Pulau Gag di Raja Ampat yang Disorot karena Tambang Nikel
Letak Pulau Gag di Raja Ampat yang Disorot karena Tambang Nikel
Nasional
Pemerintah Tinjau Kembali Persetujuan Lingkungan 4 Tambang di Raja Ampat
Pemerintah Tinjau Kembali Persetujuan Lingkungan 4 Tambang di Raja Ampat
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau