SETIAP 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila yang ditetapkan sebagai hari libur nasional. Peringatan tersebut secara resmi mulai dilakukan pada 1 Juni 2017, dengan Keppres No. 24/2016.
Di bagian konsideran butir e Keppres terbaca kalimat “bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara”.
Konsideran ini sejatinya menguntai benang merah proses kelahiran, perumusan dan pengesahan Pancasila.
Sepanjang proses itu terjadi perdebatan ideologis di dalam Panitia Sembilan antara kelompok kebangsaaan dan kelompok agama.
Pusaran debat berkisar pada rumusan tujuh kata usulan kelompok agama yang menginginkan penerapan syariat Islam bagi pemeluknya.
Dengan kebesaran hati para founding fathers, Panitia Sembilan akhirnya menyepakati rumusan Pancasila seperti sekarang ini yang - sesuai penjelasan dalam UU No.12/2011 – diakui sebagai falsafah, dasar dan ideologi negara.
Baca juga: Pancasila di Balik Kotak Suara
Dalam suasana memperingati hari lahir Pancasila, baik jika kita ajukan tanya: bagaimana menempatkan Pancasila dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia?
Secara normatif-filosofis, manakala diakui sebagai falsafah, dasar dan ideologi negara, itu artinya Pancasila ditempatkan di "singgasana sejarah" perjuangan bangsa.
Singgasana adalah tempat sesuatu yang paling kita hormati. Dari singgasanalah terpancar nilai dan inspirasi kemuliaan, keagungan sekaligus kekuatan.
Dan, ke singgasana jugalah kita mengacu dan berpedoman untuk nilai, moralitas dan etika.
Berada di atas singgasana sejarah, Pancasila mestinya tidak lagi hanya sekadar simbol persatuan dari bangsa yang beragam, tapi harus menjadi acuan nilai, moral dan etika. Masa lalu, masa kini dan masa depan bangsa.
Namun, mengapa Pancasila perlu kita dudukkan di singgasana sejarah? Pertanyaan ini bisa kita telusuri dari tiga dimensi; yaitu sejarah kelahiran Pancasila, tantangan eksternal dan konsensus politik nasional.
Pertama, dari dimensi sejarah kelahirannya, Pancasila merupakan pergumulan pemikiran para founding fathers.
Dinamika perdebatan ideologis di BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dan Panitia Sembilan - yang diwarnai dua arus utama pemikiran, yaitu negara kebangsaaan dan negara agama - berkulminasi dalam bentuk kesepakatan bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan dalam bingkai negara kesatuan.
Negara kebangsaan, bukan negara agama. Negara kebangsaan yang diinspirasi oleh nilai-nilai agama. Ini adalah perjanjian luhur.