BARU-baru ini, pemerintah Indonesia meluncurkan proyek penulisan ulang sejarah nasional dengan nada yang diklaim lebih positif, khususnya terkait pelanggaran HAM berat.
Langkah ini, meskipun tampak menjanjikan penyatuan bangsa dan penyegaran narasi sejarah, sesungguhnya menyimpan risiko serius: marginalisasi fakta-fakta kelam yang justru penting untuk dipahami demi mencegah pengulangan kesalahan sejarah.
Pendekatan “tone positif” dalam penulisan sejarah ini lebih mirip sebuah strategi retoris untuk menutupi kegagalan struktural dalam penegakan HAM dan akuntabilitas negara.
Dalam perspektif teori kritis, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer, sejarah yang “diwarnai” narasi dominan yang menghapuskan konflik dan ketidakadilan adalah bentuk “ideologi palsu” yang berfungsi mempertahankan status quo kekuasaan.
Baca juga: Soal Pelanggaran HAM di Penulisan Ulang Sejarah, Fadli Zon Ingin Tone Positif
Sejarah semacam ini bukan hanya mengaburkan kebenaran, tetapi juga membungkam korban dan menyembunyikan relasi kuasa yang melahirkan pelanggaran HAM.
Dengan kata lain, “tone positif” dalam narasi sejarah berpotensi menjadi alat reproduksi dominasi politik yang mengorbankan keadilan dan kebenaran historis.
Pun, pendekatan ini bertentangan dengan prinsip dasar kajian sejarah kritis yang menuntut inklusivitas dan pluralitas perspektif.
Sebagaimana ditegaskan oleh Hayden White, sejarah tidak pernah netral—melainkan adalah konstruksi naratif yang dipilih berdasarkan kepentingan politik dan ideologis.
Maka, pemilihan untuk mengedepankan “tone positif” tanpa menampilkan seluruh aspek, khususnya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, merupakan manipulasi naratif yang melemahkan kapasitas masyarakat untuk refleksi kritis dan pembelajaran dari masa lalu.
Sebagai konsekuensi praktis, penulisan sejarah yang menutup-nutupi atau meminimalisasi pelanggaran HAM dapat menghambat proses rekonsiliasi dan pemulihan keadilan yang sejati.
Ketiadaan pengakuan penuh terhadap kesalahan masa lalu sering kali menimbulkan luka kolektif yang terpendam dan potensi ketegangan sosial berulang di masa depan.
Sejarah harusnya menjadi ruang pengakuan, peringatan, dan pembelajaran—bukan sekadar alat pencitraan politik.
Sejatinya, dalam demokrasi yang sehat, penting bagi negara untuk mengedepankan narasi sejarah yang jujur dan kritis, meski pahit sekalipun.
Kebebasan berekspresi dan akses pada kebenaran sejarah adalah pilar utama penegakan hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat yang berkeadilan.
Jika melihat sejarah di Indonesia, ada sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh negara, yang tidak boleh dikesampingkan dalam narasi sejarah nasional.