Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suprianto Haseng
Karyawan Swasta

Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor

Jembatan Rakyat Dibidik

Kompas.com - 04/05/2025, 10:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, jembatan ini tidak memiliki izin melintasi sungai."

DEMIKIAN bunyi spanduk yang terpasang di area jembatan perahu milik Muhammad Endang Junaedi atau Haji Endang.

Jembatan perahu milik Haji Endang, yang menghubungkan Desa Anggadita dan Parungmulya di Karawang, Jawa Barat, tiba-tiba dipersoalkan.

Pada 28 April 2025, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum memasang spanduk peringatan di jembatan yang telah beroperasi selama 15 tahun tersebut.

Spanduk itu menyatakan bahwa jembatan tersebut tidak memiliki izin untuk melintasi sungai, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Jembatan perahu sederhana yang kini dipersoalkan ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan simbol perlawanan terhadap keterbatasan yang ada.

Semangat gotong royong dari masyarakat setempat yang melahirkan jembatan ini seharusnya diapresiasi, bukan malah dihukum dengan penutupan.

Baca juga: BBWS Citarum Beri Ultimatum Haji Endang: Kalau Diabaikan, Kita Bakal Bongkar Paksa Jembatan

Jembatan perahu Haji Endang itu telah 15 tahun menjadi jalan bagi para pekerja, pelajar, dan pedagang kecil yang bergantung padanya.

Dibangun dengan keringat dan tabungan masyarakat, jembatan ini bukan sekadar lintasan, tetapi simbol harapan dan kreativitas rakyat yang hadir ketika negara absen di tengahnya

Ironi muncul mengapa solusi rakyat dipandang sebagai masalah? Mengapa inovasi yang telah membantu ribuan orang justru dianggap mengganggu tatanan hukum? Apa yang salah dengan cara kita memandang kebijakan ini?

Nasib jembatan perahu

Kini jembatan perahu itu menghadapi ancaman penutupan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, atas dalih perizinan dan potensi pelanggaran UU Sumber Daya Air.

Ironi muncul: mengapa setelah belasan tahun keberadaannya, pemerintah baru “terbangun”? Kenapa inovasi rakyat dipandang sebagai pelanggaran, bukan sebagai inspirasi untuk solusi?

Bagi warga Karawang yang setiap hari harus menyeberangi Sungai Citarum, tidak adanya jembatan resmi bukan sekadar ketidaknyamanan, tetapi hambatan ekonomi, sosial, bahkan keselamatan. Namun, alih-alih menunggu solusi yang tak kunjung tiba, mereka memilih bertindak.

Biaya pembangunan jembatan perahu Haji Endang yang mencapai sekitar Rp 5 miliar memang berasal dari swadaya masyarakat, terutama dipelopori oleh Haji Endang sebagai tokoh lokal.

Proses pembangunannya melibatkan gotong royong warga, yang secara aktif membantu, baik dalam tenaga, dana, maupun perawatan jembatan tersebut.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau