TIDAK ada yang menikmati untuk dipaksa melakukan apapun. Baik menunggu iklan saat membaca berita atau menonton video untuk hilang, hingga kebijakan publik koersif yang potensi dampaknya bisa jangka panjang.
Derek Rucker, profesor Kellogg School of Marketing, menyatakan ada dua strategi dalam dalam persuasi, yaitu persuasi persetujuan (consent) dan persuasi ekstrem (extremity).
Mayoritas responden dalam penelitiannya lebih menyukai strategi persuasi persetujuan ketimbang persuasi ekstrem, meski saat itu mereka kalah jumlah dari para ekstremis.
Hal ini menunjukkan bahwa strategi persuasi persetujuan sifatnya heuristik—menggiring masyarakat berpikir kritis, memecahkan masalah, membuat keputusan secara cepat dan efisien berdasarkan pengalaman yang mereka alami langsung.
Contoh penerapan persuasi persetujuan dan ekstrem: “Ke mana kita mesti membawa anak-anak nakal bermasalah ini?”
“Bimbingan Konseling dan Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) rasanya tepat, ya?” (Strategi Persuasi Persetujuan)
“Kalau tidak barak, ya penjara.” (Strategi Persuasi Ekstrem)
Baca juga: Kebijakan Populis dan Matinya Kepakaran
Tujuan kedua strategi persuasi itu sama-sama bermuara pada meyakinkan sebanyak-banyaknya orang akan suatu gagasan atau ide. Tidak ada benar salah dalam penggunaanya, hanya cara dan gaya yang berbeda.
Dalam kebijakan publik, perlu diperhitungkan juga dampak dari penggunaan kedua strategi persuasi tersebut. Dalam fenomena Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, strategi persuasi ekstrem kental terasa di setiap kebijakannya.
Denmark, Swedia, dan Norwegia, negara berpenghasilan tinggi, tingkat kriminalitas dan kemiskinan rendah juga tidak kebal akan kenakalan hingga kriminalitas terkait gangster.
Pemerintah bekerjasama dengan para akademisi untuk memahami isu hingga ke akarnya, lalu menelurkan solusi yang heuristik bagi masyarakatnya.
Di kawasan Nordik, penelitian tentang gangster jalanan dimulai sejak awal abad ke-20. Semakin sini, kesenjangan sosial-politik-ekonomi berkembang, memperluas jarak antara si kaya dan si miskin di pinggiran yang rentan akan suburnya bibit kekerasan terkait gangster.
Penelitian di Denmark, Swedia, dan Norwegia secara konsisten menemukan berbagai faktor sosial ekonomi berkontribusi kuat pada kekerasan terkait gangster di kalangan remaja.
Misalnya, tekanan di kalangan teman, dinamika di dalam keluarga, dan lingkungan sosial yang mendukung terjadinya kenakalan.
Di Denmark, Safer Cities Program yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang membantu remaja keluar dari kekerasan atau kenakalan remaja memiliki banyak inisiatif yang menggabungkan berbagai kegiatan setelah sekolah, pendampingan isu dan potensi remaja, serta patroli bersama komunitas.