Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Kelalaian Sistemik dan "Kartu Kuning" Geopark Kaldera Toba

Kompas.com - 27/05/2025, 08:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA September 2023 lalu, UNESCO mengeluarkan peringatan atau “kartu kuning” bagi Geopark Kaldera Toba.

Isyarat keras ini bukan sekadar teguran administratif. Ia adalah sinyal bahaya yang mencerminkan potensi pencabutan status Kaldera Toba sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp).

Status yang diperjuangkan selama lebih dari satu dekade dan akhirnya dikukuhkan pada 7 Juli 2020 melalui sidang Dewan Eksekutif UNESCO ke-209 di Paris.

Kini, keanggotaan yang diraih dengan susah payah itu terancam sirna dalam hitungan tahun, jika pemerintah dan para pemangku kepentingan tidak segera melakukan pembenahan tata kelola secara menyeluruh.

Kalau kita melihat paparan dari Rapat Komisi VII DPR RI, kekhawatiran ini disuarakan dengan keras.

Para legislator memang menyoroti potensi dampak buruk status UGGP terhadap sektor pariwisata nasional, khususnya di wilayah Danau Toba dan sekitarnya.

Mereka mendesak pemerintah agar tidak lagi abai terhadap prinsip-prinsip pengelolaan geopark sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO, yakni pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat, konservasi, dan edukasi publik.

Lima tahun sudah Kaldera Toba menyandang status sebagai bagian dari jaringan geopark dunia. Seharusnya predikat ini memperkuat posisi Danau Toba sebagai destinasi pariwisata unggulan berbasis ekologi dan kearifan lokal.

Dalam banyak narasi kebijakan, UGGp Kaldera Toba disebut sebagai pilar pembangunan kawasan: ekonomi masyarakat berbasis wisata, konservasi ekologi dan geologi, serta pendidikan publik tentang warisan bumi.

Cita-cita itu kini tinggal jargon di atas kertas. Banyak titik kawasan Kaldera Toba justru dipenuhi ketimpangan tata ruang, eksploitasi lahan, minimnya partisipasi masyarakat lokal, dan lemahnya integrasi antarpemangku kepentingan.

Pengelolaan geopark yang seharusnya terukur dan berbasis komunitas berubah menjadi tambal sulam proyek-proyek sektoral. UNESCO saya rasa mencium persoalan ini dan dengan tegas melayangkan kartu kuning.

Kelemahan institusional

Saya bukan ahli pariwisata yang bisa merinci detail pengelolaan destinasi atau branding wisata. Namun, sebagai orang banyak terlibat dalam kerja-kerja pencegahan korupsi dan perbaikan kelembagaan, saya tahu persis bahwa kelemahan institusional dan ketiadaan koordinasi adalah akar dari sebagian besar kegagalan kebijakan publik termasuk dalam urusan pariwisata.

Danau Toba, sebagai kawasan strategis nasional, dikepung tujuh kabupaten: Toba, Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, dan Karo.

Baca juga: Membingkai Kekuasaan Presiden

Alih-alih bersinergi, masing-masing Pemda berjalan dengan ego sektoralnya sendiri. Tiap daerah merancang program pariwisata tanpa integrasi, minim basis data, bahkan seringkali hanya bersandar pada “program populis” tanpa dampak jangka panjang.

Tidak ada perencanaan terpadu, tidak ada sistem pemantauan terpadu, dan nyaris tidak ada “sense of urgency” dalam menjaga integritas kawasan geopark.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap lemahnya peran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang seharusnya bertindak sebagai koordinator lintas kabupaten sekaligus perpanjangan tangan Pemerintah Pusat.

Ketika Pemprov pasif, maka pusat gravitasi kebijakan menjadi pecah dan terfragmentasi. Ini adalah bukti dari kelalaian sistemik, bukan sekadar masalah teknis di lapangan saja.

Selain itu, secara kelembagaan, kita sebenarnya memiliki Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016.

BPODT adalah satuan kerja di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang secara normatif dirancang untuk menjadi katalisator pembangunan kawasan Danau Toba.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau