PROGRAM sertifikasi tanah ulayat yang tengah digencarkan pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN dalam bingkai Reforma Agraria dinarasikan sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
Di Sumatera Barat, kebijakan ini tidak serta-merta disambut dengan tangan terbuka. Alih-alih merasa diakui, banyak ninik mamak, pemuka adat, dan pemerhati kebudayaan justru menyatakan penolakan.
Sertifikasi tanah ulayat dinilai mengintervensi tatanan adat Minangkabau yang selama ini hidup dan tumbuh tanpa sertifikat negara.
Tanah ulayat di Ranah Minang bukanlah sekadar objek agraria. Ia adalah ruang hidup, ruang kultural, dan ruang spiritual yang menyatu dengan falsafah hidup masyarakat "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah".
Dalam falsafah ini, hak atas tanah bukan dimiliki secara individual, melainkan secara kolektif oleh kaum (kelompok kekerabatan matrilineal) yang dipimpin oleh seorang ninik mamak.
Tanah tidak diwariskan dalam bentuk hak milik perseorangan, tetapi dijaga sebagai warisan leluhur yang tidak boleh dijual atau dialihkan tanpa musyawarah dan mufakat.
Pemerintah berdalih bahwa sertifikasi tanah ulayat dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah konflik agraria.
Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa perlindungan hanya bisa diberikan melalui mekanisme hukum negara dan sertifikat hak kolektif yang dicatat dalam register BPN.
Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa di Minangkabau, kepastian hukum adat telah lama hadir melalui struktur sosial adat, musyawarah kaum, dan pengakuan sosial berbasis kekerabatan, bukan dokumen negara.
Lebih dari itu, sertifikat justru membuka celah terhadap komersialisasi dan alih fungsi tanah ulayat.
Tidak sedikit kasus di mana tanah ulayat yang telah disertifikatkan atas nama kelompok tertentu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan investasi, perkebunan, bahkan pertambangan, tanpa musyawarah yang sah dengan seluruh anggota kaum.
Sertifikat, dalam konteks ini, menjadi legitimasi formil yang ironisnya melanggar substansi hukum adat.
Dalam berbagai studi agraria, seperti yang dikemukakan oleh Boaventura de Sousa Santos (2002), sistem hukum negara modern sering kali gagal memahami hukum lokal atau legal pluralism yang hidup dalam masyarakat adat.
Negara kerap memaksakan satu sistem hukum tunggal yang menundukkan bentuk-bentuk pengaturan sosial lain yang sudah mapan.
Hasilnya bukan hanya marginalisasi hukum adat, tetapi juga perusakan tatanan sosial yang telah teruji oleh sejarah.
Baca juga: Mafia Tanah dan SHM yang Tak Lagi Berharga