GUBERNUR Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tengah jadi sorotan setelah pernyataannya yang menantang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk "mengambil dan membina" anak-anak bermasalah (Kompas TV, 19/05/2025).
Bukan hanya polemik, pernyataan itu justru memperlihatkan miskonsepsi mendasar tentang tanggung jawab negara dalam pelindungan anak.
Padahal, dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU No. 35 Tahun 2014 (UU Pelindungan Anak) ditegaskan bahwa pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab atas pelindungan anak.
Artinya, gubernur bukan hanya pelaksana teknis, tetapi penentu arah dan eksekutor utama dalam kebijakan pelindungan.
Alih-alih merancang sistem rehabilitasi yang berpihak pada hak anak, Gubernur Jabar justru memilih pendekatan disipliner berbasis militer.
Baca juga: Dikritik, Dedi Mulyadi Tantang KPAI: Ada Ribuan Siswa Nakal, Mau Ambil Berapa?
Dalam situasi tertentu, pelatihan disiplin memang penting. Namun, menjadikan barak militer sebagai tempat “pendidikan karakter” untuk anak-anak yang dianggap bermasalah justru mengandung risiko kekerasan simbolik dan stigmatisasi.
Apalagi, Pasal 59 ayat (2) UU Pelindungan Anak huruf n dengan tegas menyebut bahwa anak dengan perilaku menyimpang justru berhak mendapat pelindungan khusus, bukan seolah diberi label dan “dibuang” ke tempat dengan kultur kepatuhan absolut, seperti barak.
Pendekatan semacam ini bertentangan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” sebagaimana diatur dalam konvensi internasional dan UU Pelindungan Anak.
Secara teoretik, pendekatan yang digunakan Dedi justru mencerminkan logika punitif negara, seperti kritik Foucault dalam teori disciplinary power.
Anak-anak diposisikan sebagai objek normalisasi melalui institusi militer—yang seharusnya bukan instrumen pendidikan sipil. Negara gagal memosisikan anak sebagai subjek hukum yang harus dilindungi martabatnya.
Di sisi lain, Pasal 76C UU Pelindungan Anak secara eksplisit melarang siapa pun—termasuk pejabat negara—menempatkan anak dalam posisi yang membuka kemungkinan terjadinya kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Meski pelatihan militer yang dimaksud “tidak mengandung kekerasan”, nuansa koersif seperti ancaman tidak naik kelas tetap problematik.
Baca juga: Temuan Anak Diancam Tak Naik Kelas Tolak Barak Militer, Dedi Mulyadi Persilakan KPAI Lanjutkan
Bahkan, Pasal 76H UU Pelindungan Anak memperingatkan soal pelibatan anak dalam kegiatan berbau militer—baik secara langsung maupun simbolik.
Barak, dalam imajinasi kolektif maupun praktik institusional, bukanlah tempat aman untuk tumbuh kembang psikososial anak.
Tugas KPAI bukanlah mengeksekusi kebijakan, melainkan melakukan pengawasan, mediasi, dan advokasi.