KOMPAS.com - Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) menyoroti metode penagihan royalti musik mendadak kepada sejumlah pengusaha hotel tanpa verifikasi terlebih dulu.
Melalui Ketua Bidang Hukum IHGMA sekaligus Konsultan Hukum Pariwisata, Erick Herlangga, IHGMA menyampaikan pandangannya terkait dinamika penagihan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terhadap pelaku usaha hotel dan restoran.
"LMKN perlu berhati-hati dalam menginterpretasikan pasal karena penafsiran yang terlalu luas bisa melampaui maksud sebenarnya dari undang-undang," ujar Erick dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Rabu (13/8/2025).
Baca juga: HUT ke-80 RI, Ada Diskon hingga 45 Persen di 135 Hotel Archipelago
"Sebelum menagih, seharusnya ada dialog, sosialisasi, dan kejelasan kriteria agar pelaku usaha memahami dasar perhitungannya,” sambung dia.
Saat pernyataan IHGMA ditulis, asosiasi yang membawahi manajer hotel di Indonesia ini telah menyampaikan surat resmi kepada LMKN untuk meminta klarifikasi dan mengusulkan dialog terbuka terkait mekanisme penagihan royalti.
Namun, belum ada balasan untuk surat tersebut hingga berita ini ditulis. Erick berharap LMKN dapat segera merespons agar proses komunikasi dapat berjalan konstruktif dan menghindari kesalahpahaman di lapangan.
Erick memahami bahwa perlindungan hak cipta adalah bagian penting dari ekosistem industri kreatif yang tertulis dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2021.
Baca juga: Okupansi Hotel di NTB Lesu, Sebagian Pilih Stop Putar Musik karena Kena Royalti
Hanya saja, ia menilai bahwa pelaksanaan aturan ini harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan komunikasi yang efektif dengan para pelaku usaha.
Ia menekankan bahwa metode penagihan mendadak disertai somasi, apalagi tanpa verifikasi atau klarifikasi, berisiko menciptakan ketegangan yang tidak perlu.
Beberapa kasus yang ia tangani menunjukkan adanya tagihan kepada hotel yang tidak memutar musik di area publik atau bahkan ke kamar hotel yang hanya menayangkan siaran TV kabel resmi.
"Padahal Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta mengatur kewajiban royalti untuk 'pertunjukan untuk umum' yang secara hukum berbeda dengan ruang privat sementara seperti kamar hotel," tutur Erick.
Baca juga: Hotel di NTB Kaget Ditagih Royalti Musik, PHRI Ungkap Keresahan
Terkait somasi yang dilayangkan pada sejumlah hotel karena royalti musik, Erick mengingatkan bahwa somasi yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pengirimnya, baik secara perdata maupun pidana.
Prinsip tanggung jawab hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa perbuatan yang merugikan pihak lain tanpa dasar yang sah dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum.
Ia berharap kedua pihak, baik pengusaha hotel maupun LMKN, dapat menjaga komunikasi yang sehat demi tercapainya tujuan bersama.
Menurutnya, dengan pendekatan yang saling menghormati, pencipta musik dapat menerima haknya secara layak, sementara industri perhotelan tetap dapat beroperasi tanpa beban sengketa yang menguras energi.
Baca juga: Ditagih Royalti, Pengusaha Hotel: Lagu di TV Kamar Juga Dihitung