RIO DE JANEIRO, KOMPAS.com – Ancaman tarif tambahan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membayangi hari terakhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, Senin (7/7/2025).
Trump menyampaikan peringatan keras kepada negara-negara anggota BRICS, termasuk China dan India, dengan mengancam akan mengenakan tarif dagang tambahan sebesar 10 persen.
Pernyataan itu disampaikan melalui media sosial pada Minggu (6/7/2025) malam waktu setempat.
Baca juga: Setelah China, Giliran Afrika Selatan Klarifikasi Saat BRICS Diancam Trump
“Setiap negara yang menyelaraskan diri dengan kebijakan BRICS yang anti-Amerika akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10 persen,” tulis Trump, sebagaimana diberitakan AFP pada Selasa (8/7/2025).
Blok BRICS, yang kini beranggotakan 11 negara, mewakili hampir setengah populasi dunia dan sekitar 40 persen dari output ekonomi global.
Namun, ancaman dari Gedung Putih ini kembali menghidupkan ketegangan dalam hubungan dagang antara Washington dan negara-negara berkembang.
Pernyataan Trump tersebut memicu respons beragam dari anggota BRICS. China, Rusia, dan Afrika Selatan menanggapi secara hati-hati dan menegaskan bahwa kerja sama mereka tidak dimaksudkan untuk menantang Amerika Serikat.
“China telah berulang kali menyatakan bahwa perang dagang tidak menguntungkan siapa pun, dan proteksionisme bukan solusi,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning.
Menurut Mao, BRICS merupakan platform penting bagi kerja sama antara pasar negara berkembang dan negara-negara selatan, yang mendorong keterbukaan, inklusivitas, serta kerja sama yang saling menguntungkan.
Ia menambahkan, blok ini tidak ditujukan pada negara mana pun dan tidak terlibat dalam konfrontasi kubu.
Nada serupa disampaikan oleh Rusia. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan bahwa kerja sama BRICS tidak pernah dan tidak akan pernah diarahkan terhadap negara ketiga.
Berbeda dengan tanggapan diplomatis dari China dan Rusia, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyuarakan respons yang lebih keras.
Baca juga: Presiden Prabowo Usul BRICS Jadi Motor Penggerak Kerja Sama Ekonomi Selatan
“Kami adalah negara berdaulat. Kami tidak menginginkan seorang kaisar,” ujar Lula.
Diketahui, KTT BRICS kali ini juga menyoroti dinamika internal di antara anggotanya.
Meski awalnya dibentuk sebagai forum kerja sama ekonomi negara berkembang, BRICS kini mempertemukan negara-negara yang memiliki kepentingan geopolitik yang sangat beragam, termasuk rival utama AS seperti Iran dan Rusia, serta beberapa sekutu Washington dari Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.