DALAM beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan transformasi besar dalam lanskap geopolitik global.
Dukungan yang semakin terbuka dari sejumlah negara Eropa terhadap perjuangan rakyat Palestina menunjukkan adanya pergeseran moral dan strategis di tengah kebuntuan panjang konflik Israel-Palestina.
Negara-negara seperti Spanyol, Irlandia, dan Norwegia telah mengakui secara resmi negara Palestina, yang mencerminkan perubahan sikap terhadap hegemoni lama yang selama ini berpihak pada Israel.
Oleh karenanya, isu Palestina tidak lagi hanya persoalan Timur Tengah semata, melainkan menjadi indikator penting dalam pembentukan tatanan dunia baru yang lebih multipolar.
Dukungan Eropa terhadap Palestina terjadi di tengah menurunnya dominasi geopolitik lama yang didasarkan pada blok-blok besar seperti AS dan sekutunya.
Meningkatnya kesadaran global terhadap pentingnya keadilan dan hak asasi manusia dalam hubungan internasional, mendorong negara-negara Eropa untuk mengambil sikap yang lebih berani.
Selain karena tekanan opini publik, langkah ini juga mencerminkan strategi baru Eropa dalam memosisikan diri sebagai kekuatan moral dan diplomatik alternatif.
Deklarasi New York yang menggalang dukungan luas terhadap Palestina menjadi momentum penting untuk mendorong rekonstruksi tatanan global yang lebih inklusif, di mana suara negara-negara berkembang dan kelompok terpinggirkan mendapat tempat yang lebih layak.
Dalam dinamika geopolitik baru ini, Indonesia memiliki peluang strategis untuk memainkan peran yang lebih aktif dan bermakna.
Baca juga: Rivalitas Geopolitik Konflik Thailand-Kamboja
Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Muslim dan anggota G20, Indonesia memiliki legitimasi moral dan politik untuk menjadi jembatan dialog antara Barat dan Timur, serta antara dunia Islam dan negara-negara Eropa.
Konsistensi Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina menjadi modal diplomatik yang kuat. Posisi Indonesia yang nonblok dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum internasional memberi bobot lebih terhadap suaranya dalam forum-forum internasional, termasuk di ASEAN, OKI, dan PBB.
Peran Indonesia dalam isu Palestina juga erat kaitannya dengan kepentingan geopolitik kawasan Asia Tenggara.
Dalam kerangka ASEAN, solidaritas terhadap Palestina dapat menjadi bagian dari diplomasi kemanusiaan kawasan yang mendukung perdamaian dunia.
Dengan memperkuat posisi ASEAN sebagai kekuatan regional yang menjunjung stabilitas dan keadilan global, Indonesia dapat mendorong negara-negara anggota lainnya untuk bersikap lebih terbuka terhadap isu-isu internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan keadilan global.
Hal ini penting agar ASEAN tidak terjebak dalam sikap pasif di tengah pergolakan geopolitik global.
Pergeseran sikap sejumlah negara Eropa terhadap isu Palestina tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan geopolitik global yang lebih besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, tatanan internasional pasca-Perang Dingin yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mulai menghadapi tantangan fundamental.
Invasi Rusia ke Ukraina, eskalasi konflik di Laut Cina Selatan, serta krisis berulang di Timur Tengah menjadi indikator bahwa arsitektur keamanan global yang dibentuk oleh hegemoni Barat mengalami guncangan serius.
Kepercayaan terhadap dominasi moral dan politik Amerika Serikat mulai luntur, termasuk di kalangan negara-negara Eropa Barat yang selama ini menjadi mitra tradisionalnya.
Perubahan posisi Eropa terhadap Palestina mencerminkan pencarian arah baru dalam kebijakan luar negeri yang tidak lagi sepenuhnya bergantung pada aliansi geopolitik lama seperti NATO.
Baca juga: Sound Horeg dan Perlawanan Sunyi Budaya Rakyat
Dukungan terhadap pengakuan negara Palestina oleh negara-negara seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia mencerminkan keinginan untuk menyusun narasi yang lebih independen dan berakar pada prinsip-prinsip hukum internasional serta nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ini menjadi bentuk koreksi terhadap standar ganda yang selama ini melekat pada pendekatan Barat terhadap isu hak asasi manusia, terutama dalam konteks konflik Israel-Palestina.
Maka fenomena ini juga memperlihatkan kebangkitan peran lembaga-lembaga internasional dalam membentuk opini dan legitimasi global.