RIO DE JANEIRO, KOMPAS.com – Suasana bak medan perang menyelimuti permukiman kumuh di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa (28/10/2025), ketika polisi melancarkan penggerebekan besar-besaran terhadap jaringan pengedar narkoba.
Sedikitnya 64 orang tewas dalam operasi yang disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah negara bagian Rio de Janeiro.
Sebanyak 2.500 petugas bersenjata lengkap diterjunkan, dengan dukungan kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone.
Baca juga: Presiden Brasil Bakal Susul Trump ke KTT ASEAN, Ada Apa?
Operasi itu menyasar dua kawasan favela di wilayah utara Rio, yakni Complexo da Penha dan Complexo do Alemao, yang dikenal dikuasai geng narkoba utama Brasil, Comando Vermelho (Komando Merah).
Tembakan terdengar di sekitar bandara internasional Rio, sedangkan asap tebal membubung dari beberapa titik kebakaran beberapa jam setelah operasi dimulai. Warga panik, toko-toko tutup, dan lalu lintas di sejumlah jalan utama terhenti.
“Ini pertama kalinya kami melihat drone penjahat menjatuhkan bom di masyarakat,” ujar seorang warga Penha kepada AFP tanpa menyebutkan namanya.
“Semua orang ketakutan karena begitu banyak tembakan,” tambahnya.
Gubernur Negara Bagian Rio de Janeiro, Claudio Castro, mengatakan, operasi ini dilakukan untuk menghentikan ekspansi geng Comando Vermelho. Ia melaporkan 60 korban tewas berasal dari kelompok kriminal tersebut, sedangkan empat polisi juga dilaporkan meninggal.
“Beginilah polisi Rio diperlakukan oleh penjahat, dengan bom yang dijatuhkan dari drone. Ini bukan kejahatan biasa, melainkan narkoterorisme,” kata Castro di platform X.
Polisi juga menyita 42 senapan dan sejumlah besar narkoba, serta menangkap sedikitnya 81 orang.
Baca juga: Divonis 27 Tahun Penjara, Eks Presiden Brasil Didagnosis Kanker Kulit
Di lokasi penggerebekan, wartawan AFP melihat polisi menjaga sekitar 20 anak muda di distrik Penha. Mereka duduk di trotoar, kepala tertunduk, sebagian tanpa alas kaki, dan bertelanjang dada.
Seorang pensiunan bernama Regina Pinheiro (70) mengaku tidak bisa pulang akibat kekacauan tersebut.
“Kami kehabisan bus, tanpa apa pun, dalam kekacauan ini dan tidak tahu harus berbuat apa,” ujarnya.
Anggota Kongres Henrique Vieira mengecam keras cara aparat menangani operasi tersebut. “Pemerintah negara bagian memperlakukan favela sebagai wilayah musuh, dengan izin untuk menembak dan membunuh,” tulisnya di X.
Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Majelis Legislatif Negara Bagian Rio, Dani Monteiro, menyebut tindakan itu telah mengubah favela menjadi medan perang dan barbarisme.
Baca juga: PM Israel Perintahkan Serangan Baru ke Gaza Usai Tuding Hamas Langgar Gencatan Senjata
Penggerebekan besar di favela bukan hal baru di Rio, tetapi kali ini merupakan yang paling mematikan. Sebelumnya, rekor korban tewas tertinggi terjadi pada 2021 dengan 28 orang meninggal.
Tahun lalu, sekitar 700 orang tewas dalam operasi polisi di Rio, rata-rata hampir dua orang per hari.
Pada 2020, Mahkamah Agung Brasil sempat membatasi operasi antinarkoba di kawasan padat penduduk, termasuk larangan penggunaan helikopter dan operasi di sekitar sekolah atau fasilitas kesehatan. Namun, pembatasan itu dicabut tahun ini.
Baca juga: Ditolak 50 Kali Wawancara Kerja, Wanita Brasil Ini Curiga Penampilannya Jadi Hambatan
Para ahli dan organisasi hak asasi manusia menilai operasi semacam ini tidak efektif memberantas kejahatan terorganisasi, bahkan justru memperparah siklus kekerasan di wilayah termiskin Brasil.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang