KOMPAS.com – Tren urbanisasi terbalik atau keinginan orang untuk pindah ke desa kini semakin meningkat. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin banyak orang yang memilih meninggalkan hiruk-pikuk kota besar untuk hidup lebih tenang di pedesaan.
Fenomena ini tak hanya berkaitan dengan gaya hidup, tetapi juga berakar pada kesehatan mental dan kesejahteraan hidup.
Sejumlah penelitian internasional menunjukkan bahwa lingkungan perkotaan yang padat, bising, dan kompetitif dapat berdampak negatif terhadap kesehatan jiwa masyarakatnya.
Baca juga: Dosen UMS Hardika Dinobatkan Jadi Dosen Berdampak Berkat Pemberdayaan Desa
Dikutip dari Urban Design and Mental Health, disebutkan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Kesehatan mental yang baik menjadi fondasi bagi kesejahteraan individu dan keberlanjutan kota yang tangguh.
Secara global, 1 dari 4 orang akan mengalami gangguan kesehatan mental sepanjang hidupnya. Gangguan mental ini bahkan menyumbang 7,4 persen dari total beban penyakit dunia dan kini menjadi penyebab utama disabilitas jangka panjang.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa kehidupan di kota besar memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan mental dibandingkan pedesaan.
Orang yang tinggal di kota memiliki risiko 40 persen lebih tinggi mengalami depresi, 20 persen lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan, dan dua kali lipat lebih berisiko menderita skizofrenia dibandingkan mereka yang tinggal di desa.
Selain itu, warga kota juga lebih rentan mengalami kesepian, isolasi sosial, dan stres kronis, akibat tekanan dan rangsangan yang berlebihan dari lingkungan perkotaan.
Baca juga: Awalnya Diremehkan, Koperasi Merah Putih yang Dijalankan Anak Muda Kini Penggerak Ekonomi Desa
Ilustrasi sawah. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin banyak orang yang memilih meninggalkan hiruk-pikuk kota besar untuk hidup lebih tenang di pedesaan.1. Faktor Risiko Pribadi
Banyak orang pindah ke kota dengan harapan mendapatkan peluang ekonomi dan sosial yang lebih baik, termasuk akses ke layanan publik.
Namun, sebagian di antara mereka justru membawa faktor risiko yang dapat memperburuk kondisi mental, seperti kemiskinan, pengangguran, trauma masa lalu, krisis keluarga, kecanduan, dan tunawisma.
Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai “social drift”, yaitu perpindahan kelompok rentan ke lingkungan yang justru meningkatkan risiko gangguan mental.
Baca juga: Erupsi Dahsyat Gunung Lewotobi, Sejumlah Desa di Sikka dan Flores Timur Dilanda Hujan Abu
2. Faktor Sosial
Kesenjangan sosial di perkotaan menjadi pemicu lain. Warga yang hidup dalam kemiskinan atau memiliki status minoritas sering kali menghadapi diskriminasi, segregasi lingkungan, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas publik.