JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Dhony Rahajoe, menanggapi rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) terkait pengurangan luas minimal rumah subsidi.
Menurutnya, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam, terutama dari sisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
"Jadi kalau kita lihat di kota-kota besar ya, di negara maju, di kota metropolitan, karena harga memang sudah sulit dijangkau, sementara mereka butuh 10-20 menit ke tempat bekerja. Memang mau tidak mau akhirnya kan volumenya dikecilkan," katanya saat ditemui di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2025).
Baca juga: Rumah di Depok untuk Gen Z: Strategis, Terjangkau, Dekat ke Mana-mana
Jelas Dhony, hal tersebut didukung oleh teknologi hunian yang diterapkan di negara maju, seperti pengolahan limbah, bangunan vertikal, dan interior multifungsi.
Namun, ia menilai penerapan konsep hunian negara maju di Indonesia harus mempertimbangkan konteks budaya dan pola hidup masyarakat.
"Kita ini kan di negara timur, ada masalah budaya. Kumpul itu kadang-kadang saudara ditampung. Kalau di luar negeri, memang mereka terseliter, hidup sendiri, tidak mau punya anak," ujarnya.
Dhony juga menyinggung bahwa mengecilkan ukuran bukan satu-satunya cara untuk menekan harga rumah. Ia menyarankan pemerintah memperhatikan aspek penataan ruang dan keadilan dalam zona nilai tanah.
Baca juga: Gen Z, Ini Pilihan Rumah Murah Rp 151 Juta di Kebumen
"Ada cara lebih baik dimulai dengan bagaimana penataan ruang. Pemerintah dalam hal ini akan punya kewajiban sesuai amanat undang-undang untuk memberikan tempat tinggal yang baik dan sehat," ucapnya.
Sebagai informasi, batas minimal luas rumah subsidi tampaknya bakal berkurang, baik itu luas tanah maupun bangunan. Hal itu tertera dalam draf aturan terbaru yang beredar dan sedang dirancang oleh Kementerian PKP.
Draf aturan yang dimaksud berupa Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Perumahan Kredit/Pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan (Kepmen PKP Nomor/KPTS/M/2025).
Draf aturan tersebut mengatur salah satunya tentang batasan luas tanah dan luas lantai rumah umum tapak.
Adapun luas tanah paling rendah adalah 25 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi. Sementara luas bangunan paling rendah adalah 18 meter persegi dan paling tinggi 36 meter persegi.
Baca juga: Ara dan Rencana Kontroversial Membonsai Ukuran Rumah Subsidi
Kendati demikian, ketentuan luas tanah di atas disebut masih memerlukan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Sebelumnya, batas minimal dan maksimal luas rumah subsidi diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan (Kepmen PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023).
Di dalam beleid itu tertulis bahwa rumah umum tapak harus memiliki luas tanah paling rendah 60 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi. Sementara luas lantai paling rendah 21 meter persegi dan paling tinggi 36 meter persegi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.