KOMPAS.com - Dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang pada PT Pertamina (Persero) mengemuka.
Terbaru, sebanyak 18 orang ditetapkan jadi tersangka, termasuk pengusaha Riza Chalid.
Kasus korupsi di Pertamina bukanlah hal baru. Pada 1970-an, terjadi skandal korupsi Pertamina yang kala itu dipimpin oleh Ibnu Sutowo.
Ibnu Sutowo berasal dari kalangan militer. Ia tergabung dalam Tentarang Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 5 Desember 1946.
Baca juga: Sejarah Korupsi Masa Orde Baru: Tantangan Memberantas KKN
Sejak 1950-an, Ibnu Sutowo sudah dipercaya untuk memegang perusahaan negara, menyusul digalakkannya program dwifungsi ABRI oleh KASD Letjen Nasution.
Pada 1957, Nasution memerintahkan Deputi II Kolonel Ibnu Sutowo mengambil alih ladang minyak yang terbengkalai di Sumatera.
Ibnu Sutowo menduduki posisi sebagai Direktur PT Permina (Perusahaan Minyak Negara), sebelum berubah jadi PN Permina.
Saat PN Permina bergabung dengan Pertamin, nama perusahaan berubah menjadi PN Pertamina, akronim dari Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Soeharto menunjuk Ibnu Seutowo sebagai Dirut Pertamina pertama. Ia menciptakan konsep production sharing.
Konsep ini berhasil memajukan Pertamina, terutama di saat terdapat momentum melonjaknya harga minyak dunia pada 1973 hingga 400 persen.
Kendati demikian, gerak Pertamina menimbulkan kecurigaan, terlebih setelah Pertamina mulai mengalami masa surut.
Baca juga: Ibnu Sutowo, Direktur Pertama Pertamina
Dugaan adanya kasus korupsi Pertamina berawal dari tiadanya kontrol terhadap operasional Pertamina sendiri.
Saat itu, kinerja Pertamina hampir tidak dalam pengawasan pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kebijakan Pertamina juga di luar kerangka pembangunan lima tahun susunan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Pada praktiknya, Pertamina di bawah Ibnu Sutowo menyerupai "perusahaan swasta" dan hanya bertanggung jawab kepada pimpinan militer.