KOMPAS.com - Undang-Undang Perampasan Aset menjadi salah satu instrumen penting yang dirancang negara untuk menghadapi praktik penyamaran hasil tindak pidana sekaligus mengembalikan aset atau asset recovery kepada negara.
Secara filosofis, pembentukan UU Perampasan Aset dijamin dalam UUD 1945.
Dari sisi sosiologis, aturan ini dibutuhkan agar kerugian negara akibat tindak pidana bisa dipulihkan.
Sedangkan secara yuridis, UU ini menjadi dasar hukum untuk menghadirkan norma baru dalam hukum pidana, salah satunya terkait mekanisme pembuktian terbalik.
Baca juga: Sejarah Lahirnya UU Nomor 26 Tahun 2000
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset memuat sejumlah hal penting.
Beberapa di antaranya meliputi definisi tindak pidana dan aset, mekanisme penelusuran, pemblokiran, penyitaan, serta perampasan aset.
Selain itu, RUU ini juga mengatur subjek perampasan, tata cara mengadili dan melaksanakan putusan, pengelolaan aset yang sudah dirampas, ganti rugi serta perlindungan pihak ketiga, hingga kerja sama internasional.
Tujuan utama dari aturan ini adalah mengembalikan kerugian negara secara cepat, tepat, dan terarah.
Dengan demikian, pelaku tindak pidana tidak bisa lagi menyembunyikan atau menghilangkan aset hasil kejahatan yang mereka lakukan.
Baca juga: Sejarah UU Desa, agar Masyarakat Desa Tak Jadi Penonton
Lahirnya RUU Perampasan Aset didorong oleh kondisi sistem dan mekanisme perampasan aset yang selama ini dinilai belum mampu mendukung penegakan hukum yang berkeadilan.
Pengaturan yang lebih komprehensif diperlukan agar pengelolaan aset hasil tindak pidana bisa dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel.
RUU ini membawa paradigma baru. Jika sebelumnya hukum pidana lebih menekankan pembalasan (retributionist) atau rehabilitasi (rehabilitation), kini fokus beralih pada aset hasil kejahatan.
Artinya, yang dikejar bukan lagi hanya pelaku, melainkan juga kekayaan yang didapatkan secara melawan hukum.
Dalam Pasal 1 angka 3 RUU Perampasan Aset, disebutkan bahwa perampasan adalah upaya paksa yang dilakukan negara untuk mengambil alih aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan, tanpa harus menghukum pelakunya terlebih dahulu.
Namun, tantangan muncul ketika aset tindak pidana, seperti korupsi, mengalir ke luar negeri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya