Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Aksi Kamisan di Indonesia dan Perjalanannya Menuntut Keadilan

Kompas.com - 04/09/2025, 13:09 WIB
Serafica Gischa

Editor

KOMPAS.com – Sejak 18 Januari 2007, halaman depan Istana Negara di Jakarta menjadi saksi bisu perjuangan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 

Setiap hari Kamis sore, mereka berdiri membentangkan poster, foto, dan payung hitam dalam sebuah protes damai yang dikenal dengan Aksi Kamisan.

Gerakan ini lahir sebagai respons atas lambannya negara menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, mulai dari Tragedi 1965, Talangsari, penembakan misterius, hingga kasus penculikan aktivis menjelang Reformasi 1998. 

Hingga kini, sejarah aksi Kamisan di Indonesia menjadi simbol keteguhan melawan lupa dan menuntut keadilan yang tak kunjung datang.

Baca juga: Sejarah Aksi Kamisan, Digelar Pertama Kali pada 2007

Mengapa Aksi Kamisan muncul? 

Aksi Kamisan lahir dari keprihatinan mendalam atas kasus pelanggaran HAM yang melibatkan negara sejak masa Orde Baru hingga Reformasi. 

Deretan kasus pelanggaran HAM yang melatarbelakangi Aksi Kamisan, yakni: 

  • Pembantaian Massal Pasca-G30S 1965
  • Penembakan Misterius 1982–1985 (Petrus)
  • Tragedi Tanjung Priok 1984
  • Peristiwa Talangsari 1989
  • Pembunuhan Aktivis Buruh Marsinah 1993
  • Pembunuhan Wartawan Udin 1996
  • Tragedi Reformasi 1998, termasuk di dalamnya:
    • Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat mahasiswa.
    • Tragedi Semanggi I (13 November 1998)
    • Tragedi Semanggi II (24 September 1999) 
    • Kasus penculikan aktivis pro-demokrasi menjelang kejatuhan Orde Baru, di mana beberapa aktivis diculik, disiksa, dan sebagian belum kembali.

Selain itu, pembunuhan aktivis HAM Munir pada 2004 menambah daftar panjang pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan. 

Impunitas terhadap para pelaku dan dalang kasus-kasus tersebut menjadi pemicu lahirnya aksi damai setiap hari Kamis.

Baca juga: Contoh Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Pelopor Aksi Kamisan 

Aksi Kamisan pertama kali digagas oleh tiga tokoh: Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa yang tewas dalam Tragedi Semanggi I; Suciwati Munir, istri aktivis HAM Munir Said Thalib; serta Bedjo Untung, korban penahanan tanpa proses hukum karena dituduh anggota PKI 1965–1966.

Mereka menyadari bahwa negara tidak menunjukkan keseriusan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. 

Karena itu, aksi diam dengan payung hitam dipilih sebagai bentuk simbolik, sederhana, damai, tapi sarat makna. 

Makna Payung Hitam Aksi KamisanKOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Makna Payung Hitam Aksi Kamisan

Simbol payung hitam 

Payung hitam dipilih sebagai maskot aksi. Gagasan ini datang dari Sumarsih yang mengusulkan penggunaan payung, kemudian Suciwati menekankan agar warnanya hitam, selaras dengan pakaian para peserta aksi. Hitam melambangkan duka sekaligus keteguhan untuk memperjuangkan kemanusiaan.

Sejak itu, setiap Kamis sore pukul 16.00 WIB, para korban, keluarga korban, aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat sipil berdiri diam selama sekitar satu jam di depan Istana Merdeka, membawa foto korban dan spanduk bertema perjuangan HAM.

Baca juga: 4 Jenis Pelanggaran HAM Berat Internasional Berdasarkan Statuta Roma

Perjalanan Aksi Kamisan

Dalam 17 tahun perjalanannya, Aksi Kamisan telah digelar lebih dari 800 kali.

Aksi ini tidak hanya berlangsung di Jakarta, tetapi juga menyebar ke berbagai kota, termasuk Bandung, Yogyakarta, Malang, Semarang, Surabaya, Bekasi, Makassar, Medan, Pontianak, hingga Manado. 

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau