KOMPAS.com – Di pesisir barat Aceh, tepatnya di Lamno Raya, terdapat komunitas kecil yang menarik perhatian banyak orang.
Di antara masyarakat setempat, ada sebagian penduduk yang memiliki ciri fisik tak biasa—berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang, dan bermata biru.
Keunikan ini membuat wilayah Lamno dijuluki sebagai “Kampung Bule” di Aceh.
Pesona warga keturunan Portugis di Lamno memang menjadi daya tarik tersendiri. Namun, tak mudah untuk menemui mereka. Selain jumlahnya yang kini tak banyak, sebagian besar juga cenderung tertutup dan enggan tampil di tempat umum.
Menurut penggiat wisata dari Pokdarwis Gampong Portugis, Muhammad Hidayat, saat ini masih ada sekitar 50 orang keturunan Portugis yang tersebar di wilayah Kecamatan Jaya, Indra Jaya, dan Lamno Raya.
“Mereka (keturunan Portugis) lebih kurang masih ada 50 orang di Lamno tapi desa tinggal berbeda-beda,” ujarnya.
Baca juga: Gubernur: Kalau Ada yang Tanya Situasi di NTB, Saya Kirim Foto Bule Lagi Jalan-jalan Bebas di Sini
Hidayat menjelaskan, ciri-ciri fisik keturunan Portugis ini terlihat jelas dibandingkan masyarakat sekitar.
“Keturunan bangsa Portugis di Lamno mempunyai ciri-ciri yang hampir mirip dengan nenek moyang mereka, mulai dari rambut pirang, hidung mancung, kulit putih, dan yang paling spesifik ada pada mata mereka,” tandasnya.
Ia menambahkan, meski warna mata generasi sekarang sudah tidak sebiru nenek moyang mereka, perbedaannya tetap terlihat.
“Walaupun sekarang sudah tidak biru lagi seperti nenek moyang mereka, namun warna mata mereka dengan masyarakat Lamno pada umumnya pasti berbeda, yakni ada yang coklat kebiru-biruan dan ada juga coklat kehijau-hijauan,” tuturnya.
Hidayat juga menyebut, generasi yang kini masih hidup merupakan keturunan ke-9 dari bangsa Portugis yang dahulu menetap di wilayah tersebut.
Kehadiran penduduk berpenampilan kebarat-baratan di Lamno tak lepas dari kisah panjang pertemuan budaya pada abad ke-16 Masehi.
Baca juga: Demi Proyek Jalan Jantho-Lamno, Banyak Bukit di Aceh Akan Dipangkas
Saat itu, tentara Portugis datang ke Aceh dalam misi perdagangan rempah-rempah. Sebagian dari mereka menetap, menikah dengan perempuan setempat, dan melahirkan keturunan campuran dengan ciri fisik Eropa yang masih tampak hingga kini.
Proses asimilasi tersebut banyak terjadi di wilayah bekas Kerajaan Daya, seperti Ujung Muloh, Kuala Daya, Gie Jong, Lambeso, dan Teumarem—daerah-daerah yang dulunya menjadi pelabuhan penting di jalur perdagangan Samudra Hindia.
Interaksi intens antara penduduk lokal dan bangsa Portugis inilah yang menjadi awal munculnya generasi unik di Lamno.