KOMPAS.com - Kopi mengandung kafein yang dapat menyebabkan lonjakan kadar gula darah.
Hal ini terjadi karena kafein memiliki efek pada sistem saraf pusat yang pada gilirannya memicu respons hormonal dalam tubuh.
Menurut sebuah artikel ulasan dalam Journal of Sleep Research yang diterbitkan pada 16 Mei 2022, kafein dapat memblokir reseptor adenosin.
Adenosin adalah zat kimia yang membantu tubuh untuk tertidur dengan mengikat sel-sel otak. Ketika reseptor untuk zat ini diblokir, aktivitas sel meningkat.
Selanjutnya, kafein meningkatkan efek stimulan alami yang diproduksi oleh otak. Stimulan ini adalah serotonin, dopamin (hormon “rasa senang”), dan asetilkolin.
Adapun hal ini juga meningkatkan pelepasan adrenalin, yang berefek pada gula darah.
Adrenalin memberi sinyal pada hati untuk melepaskan glukosa yang tersimpan, yang memberikan dorongan energi, tetapi juga dapat meningkatkan jumlah glukosa yang masuk ke dalam darah.
Selain itu, kurang tidur juga dapat meningkatkan resistensi insulin dan membuat seseorang merasa lebih lapar.
Ini dapat menyebabkan mereka makan lebih banyak sehingga meningkatkan kadar gula darah.
Lantas, apakah kopi baik untuk penderita diabetes?
Baca juga: Benarkah Minum Minuman Probiotik Berlebihan Bisa Picu Diabetes? Ini Penjelasan Dokter
Bagi kebanyakan orang sehat, mengonsumsi kafein hingga 400 mg sehari tidak menjadi masalah. Bahkan, secangkir kopi setiap hari dapat mengurangi risiko terkena diabetes tipe 2.
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam European Journal of Clinical Nutrition, para peneliti mengamati hubungan antara minum kopi dan diabetes pada 1.514 pria berusia 18 hingga 87 tahun dan 1.528 wanita berusia 18 hingga 89 tahun.
Para peneliti mengatakan bahwa tidak ada satu pun peserta yang menderita diabetes saat mereka mendaftar dalam penelitian tersebut.
Mereka kemudian membagi kelompok tersebut menjadi peserta yang tidak minum kopi, peminum kopi biasa (yang berarti mereka minum kurang dari 250 ml kopi setiap hari), dan peminum kopi rutin, yang minum sedikitnya 250 ml setiap hari.
Selama 10 tahun masa tindak lanjut, 191 peserta studi didiagnosis menderita diabetes tipe 2.