Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan September Hitam Indonesia: Tragedi 1965, Kematian Munir, hingga 17+8 Tuntutan Rakyat

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/AKHMAD DHANI
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan September Hitam menggelar demonstrasi di depan Kantor DPRD Kalteng, Palangka Raya, Senin (1/9/2025).
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - September menyimpan jejak peristiwa tragis yang tak mungkin dilupakan, termasuk rentetan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menorehkan luka dalam sejarah Indonesia.

Bulan ini menjadi saksi berbagai tindak kekerasan negara terhadap rakyatnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan “September Hitam", seperti dikutip dari artikel Kompas.id berjudul "September Hitam: Rentetan Catatan Pelanggaran HAM di Bulan September".

Momen ini dijadikan sebagai pengingat akan rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi dari masa ke masa dan masih membekas dalam ingatan kolektif bangsa.

Selain itu, momentum ini sekaligus menegaskan kembali tanggung jawab negara untuk senantiasa menghormati, melindungi, serta memenuhi hak asasi setiap warganya.

Berikut jejak peristiwa September Hitam, mulai dari tragedi 1965 hingga reformasi dikorupsi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Demo Jakarta 4 September 2025 dari DPR hingga Monas, Ini Rekayasa Lalu Lintasnya


Jejak September Hitam Indonesia

Berikut beberapa peristiwa bersejarah yang terjadi pada September, antara 1965-2025:

1. Peristiwa 30 September 1965 atau G30S

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) dimulai dengan terbunuhnya sejumlah perwira tinggi TNI dan anggota polisi pada malam 30 September hingga pagi 1 Oktober 1965, yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.

Namun, tragedi berdarah ini tidak berhenti pada pembunuhan para jenderal, melainkan memicu penangkapan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).

Banyak di antaranya hanyalah korban tuduhan, tetapi mereka ditangkap, dibunuh, atau hilang tanpa proses hukum.

Di bawah komando Soeharto, operasi penumpasan berlangsung luas, dipimpin Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, dan menyebar ke berbagai daerah yang dianggap basis PKI.

Kekerasan terjadi secara sistematis, melibatkan pelanggaran HAM yang dibenarkan oleh negara. Adapun, korban jiwa diperkirakan mencapai lebih dari setengah juta orang.

Pasca peristiwa kelam G30S, penahanan dan penghilangan paksa berlanjut hingga 1979.

Ribuan orang, termasuk seniman, sastrawan, dan intelektual, dibuang ke Pulau Buru maupun pulau lain seperti Nusakambangan. Mereka hidup dalam kondisi keras di bawah pengawasan ketat.

Tragedi ini juga berdampak ke luar negeri. Banyak pelajar Indonesia yang dikirim Soekarno untuk belajar di luar negeri tidak bisa pulang karena paspor dan kewarganegaraan dicabut.

Hal tersebut membuat mereka terpaksa hidup sebagai eksil politik di negara lain, seperti Belanda, Rusia, dan China.

Sudah lebih dari enam dekade setelah tragedi ini, namun pemerintah belum menunjukkan kesungguhan dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan keadilan kepada para korban.

Baca juga: Apa yang Terjadi jika Pemerintah Tidak Penuhi 17+8 Tuntutan Rakyat?

2. Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984)

Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 menjadi salah satu catatan kelam pelanggaran HAM di era Orde Baru.

Peristiwa ini bermula dari penolakan masyarakat terhadap kebijakan Presiden Soeharto yang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal.

Ketegangan dipicu dari Musala Assa’adah, tempat para ulama dan mubalig menyampaikan ceramah bernada protes, menolak asas tunggal, larangan jilbab, diskriminasi etnis Tionghoa, hingga biaya KTP yang mahal.

Penolakan semakin memanas setelah pamflet kritis ditempel di musala, meski aparat Kodim Jakarta Utara sudah memperingatkan agar dilepas.

Situasi makin panas ketika seorang tentara, Sertu Hermanu, mencoba menurunkan pamflet namun dianggap bertindak tidak sopan.

Warga marah, sepeda motor Hermanu dibakar, dan empat pengurus musala ditangkap. Hal ini memicu aksi protes besar pada malam 12 September, dipimpin Amir Biki, yang menuntut pembebasan para tahanan.

Ketika massa bergerak ke Kodim Jakarta Utara, aparat mengadang dan akhirnya menggunakan kekerasan.

Rentetan tembakan dilepaskan, menewaskan puluhan orang. Catatan Komnas HAM menyebut sedikitnya 23 orang meninggal, 55 luka-luka, dan ratusan ditangkap.

Tragedi ini bukan hanya menegaskan brutalitas aparat, tetapi juga menunjukkan bagaimana aspirasi rakyat ditekan dalam sistem otoriter.

Baca juga: Arti Pink dan Hijau di 17+8 Tuntutan Rakyat yang Beredar di Media Sosial

3. Tragedi Semanggi II (24 September 1999)

Peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999 menjadi salah satu tragedi pelanggaran HAM di Indonesia.

Saat itu, ribuan mahasiswa, buruh, aktivis, dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menolak pengesahan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) oleh DPR.

Dilansir dari Kompas.com (24/9/2021), aksi besar-besaran berlangsung di Senayan, Jakarta, dan merembet ke sejumlah daerah seperti Lampung dan Medan.

Ketegangan berujung pada bentrokan dengan aparat, di mana demonstran menjadi korban tembakan, pukulan, injakan, dan gas air mata.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut sebanyak 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka akibat tragedi tersebut.

Salah satu warga sipil yang tewas dalam peristiwa tersebut merupakan mahasiswa Universitas Indonesia bernama Yap Yun Hap. Ia meninggal akibat tertembak.

Dari hasil pemeriksaan forensik, disebutkan bahwa Yun Hap meninggal akibat tembakan dengan menggunakan peluru tajam.

Ironisnya, pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja bersama komisi III DPR menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan kasus pelanggaran HAM Berat.

4. Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004)

Pada 7 September 2004, Indonesia kehilangan salah satu pejuang HAM, Munir Said Thalib, yang terbunuh dalam penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta–Singapura–Amsterdam.

Otopsi mengungkap Munir meninggal akibat racun arsenik dengan dosis mematikan. Ia meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, pukul 08.10 waktu setempat.

Kasus ini menyita perhatian luas, apalagi terdapat dugaan kuat keterlibatan petinggi negara, khususnya unsur intelijen, dalam operasi pembunuhan yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa.

Munir dikenal kritis terhadap militerisme Orde Baru dan kebijakan represif negara. Karier advokasinya dimulai di LBH Surabaya pada 1989 lalu menjabat ketua LBH (1991).

Suaranya yang lantang menolak RUU BIN dan RUU TNI 2004 menjadikannya target pihak-pihak yang menolak perubahan.

Proses hukum kemudian menyeret Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, lalu dikurangi menjadi 14 tahun, sebelum bebas bersyarat pada 2014 dan bebas murni pada 2018.

Meski begitu, kasus ini belum sepenuhnya tuntas. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menilai ada keterlibatan tokoh intelijen, termasuk Muchdi PR dan mantan Kepala BIN Abdullah Mahmud Hendropriyono, yang hingga kini belum terungkap sepenuhnya.

Baca juga: 11 Tuntutan BEM SI yang Berencana Gelar Demo 2 September 2025

5. Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015)

Pada 26 September 2015, seorang petani dan juga aktivis lingkungan hidup yang dikenal dengan nama Salim Kancil dibunuh secara keji.

Salim dibunuh sesaat sebelum demo penolakan tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.

Diberitakan Kompas.com (26/9/2021), pembunuhan ini didalangi oleh Kepala Desa, Hariyono yang memerintahkan puluhan preman untuk menyerang Salim.

Ia dikeroyok sekitar 40 orang dengan senjata tajam, batu, dan kayu, lalu diseret sejauh dua kilometer ke balai desa hingga tewas.

Kekerasan ini diduga terkait aktivitas Salim bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar, yang aktif menentang penambangan pasir ilegal.

Komnas HAM menilai kematian Salim mencerminkan lemahnya perlindungan bagi pembela lingkungan dan pejuang kemanusiaan.

“Ini lonceng kematian untuk pejuang kemanusiaan. Kasus seperti ini bisa membuat ketakutan untuk pembela HAM,” kata Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, pada 1 Oktober 2015 di Balikpapan, Kaltim.

Para pelaku penganiayaan Salim Kancil telah ditangkap. Meski begitu, penegakan hukum atas kasus ini masih tetap menyisakan ketidakadilan.

Dua otak pelaku pembunuhan dan penganiayaan Salim Kancil dan rekannya, yaitu Hariyono dan rekannya bernama Mat Dasir, yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Selok Awar Awar hanya divonis kurungan 20 tahun penjara.

Keduanya dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Vonis terhadap keduanya lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menuntut penjara seumur hidup.

6. Kekerasan terhadap massa pada aksi reformasi dikorupsi (24-30 September 2019)

Tragedi Reformasi Dikorupsi menambah catatan September Hitam, yang menggambarkan represivitas aparat dan buruknya pemerintah merespons suara rakyat.

Serangkaian aksi mulai 23-30 September 2019 tersebut menjadi salah satu aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998.

Dikutip dari Kompas.com (27/9/2024), gelombang aksi mahasiswa ini berlangsung di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Medan, Makassar, juga Palu.

Mahasiswa, pelajar, dan warga turun ke jalan menyuarakan mosi tidak percaya kepada DPR.

Mereka menolak revisi UU KPK yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi, serta menentang sejumlah RUU lain yang dinilai merugikan rakyat, mengancam kebebasan sipil, memperparah privatisasi, dan merusak lingkungan.

Kekecewaan ini melahirkan slogan dan tagar #ReformasiDikorupsi, yang sempat trending berhari-hari di media sosial.

Namun, aspirasi rakyat justru dihadapi dengan represivitas aparat.

Berdasarkan catatan LBH Jakarta, polisi menangkap sedikitnya 1.489 orang sepanjang aksi, dan 380 di antaranya ditetapkan tersangka.

Video yang beredar memperlihatkan aparat memukul, menendang, bahkan menggunakan benda tajam terhadap demonstran. Peristiwa ini mempertegas buruknya respons negara terhadap kritik publik.

7. Pembunuhan Pendeta Yeremia (19 September 2020)

Kematian Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, menambah panjang daftar kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut.

Pemimpin Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) ini ditemukan tewas dengan luka tusuk dan tembakan, diduga dilakukan oleh anggota TNI dari Koramil Persiapan Hitadipa.

Menurut laporan Komnas HAM (2 November 2020), kasus ini berkaitan dengan serangkaian peristiwa sejak 17 September, ketika seorang anggota TNI ditembak kelompok bersenjata dan senjatanya dirampas.

Upaya pencarian senjata memicu intimidasi warga, bahkan nama Yeremia disebut sebagai musuh oleh aparat.

Pada 19 September, situasi memanas setelah seorang prajurit kembali ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Tim TNI kemudian melakukan penyisiran, dan sejumlah saksi, termasuk istri korban, menyebut Wakil Komandan Koramil Hitadipa, Alpius, sebagai pelaku penembakan.

Investigasi Komnas HAM di lokasi kejadian menemukan luka tembak di lengan kiri dan leher Yeremia, menandakan adanya kontak fisik dekat antara korban dan pelaku.

Kejadian rekonstruksi menunjukkan bahwa Pendeta Yeremia ditembak dari jarak kurang dari satu meter, dan ia ditemukan oleh istrinya dalam keadaan terluka sekitar pukul 17.50.

Yeremia sempat hidup beberapa saat, menceritakan kejadian yang menimpanya sebelum meninggal akibat kehabisan darah.

Komnas HAM menyimpulkan kematian ini sebagai eksekusi di luar hukum (extra judicial killing). Namun, proses penyelidikan aparat berjalan lambat dan tertutup, memperlihatkan potensi impunitas, di mana kekerasan aparat tidak diadili secara tuntas.

8. Kekerasan di Pulau Rempang (7 September 2023)

Konflik agraria di Pulau Rempang mencuat ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi sekitar 7.500 warga untuk pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.

Proyek yang dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG) ini ditargetkan menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080. Namun, rencana tersebut ditolak masyarakat adat.

Menurut Gerisman Ahmad, Ketua Keramat (Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan), terdapat 16 kampung tua yang sudah dihuni Suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat sejak 1834.

Ia menilai proyek bisa berjalan tanpa menggusur masyarakat adat, karena lahan yang mereka tempati hanya sekitar 10 persen dari total luas pulau.

Konflik memuncak pada 7 September 2023 di Jembatan Barelang IV, ketika warga mengadang aparat yang hendak mematok lahan.

Sekitar 1.010 aparat gabungan TNI-Polri, Satpol PP, dan BP Batam dikerahkan. Bentrokan pecah setelah aparat merangsek ke arah warga, yang membalas dengan lemparan.

Polisi kemudian menembakkan gas air mata dan meriam air, bahkan mengenai SDN 24 Galang dan SMPN 22 Galang.

Akibat bentrokan, enam warga ditangkap dan puluhan lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi korban.

9. Reset Indonesia: 17+8 Tuntutan Rakyat (September 2025)

Gelombang demonstrasi yang terjadi pada 25–31 Agustus 2025 telah melahirkan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR.

Tuntutan ini dirangkum oleh sejumlah influencer, seperti Andovi Da Lopez, Salsa Erwin, dan Jerome Polin, dengan menghimpun aspirasi dari berbagai kanal, termasuk 211 organisasi masyarakat sipil, PSHK, Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, serta Center for Environmental Law & Climate Justice UI.

Tuntutan pertama berisi 17 poin yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, TNI, Polri, ketua umum partai politik, dan kementerian di sektor ekonomi.

Beberapa poin utama tuntutan adalah pembentukan tim investigasi independen kasus kekerasan demo 28-30 Agustus 2025, penghentian keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, reformasi DPR dan partai politik, penguatan KPK, hingga reformasi kepolisian agar lebih profesional dan humanis.

Seluruh tuntutan diberi batas waktu hingga 5 September 2025 untuk dipenuhi.

Sementara itu, delapan tuntutan jangka panjang diberikan dengan tenggang waktu untuk direalisasikan hingga 31 Agustus 2026.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi