KOMPAS.com - Tragedi Reformasi Dikorupsi menambah catatan September Hitam, yang menggambarkan represivitas aparat dan buruknya pemerintah merespons suara rakyat.
Serangkaian aksi mulai 23-30 September 2019 tersebut menjadi salah satu aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998.
Aksi berlangsung di berbagai kota besar di Indonesia, seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Semarang dan Surakarta.
Ada pula Makassar, Palembang, Medan, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, dan Palu.
Mahasiswa, pelajar, dan lapisan warga lainnya menyampaikan mosi tak percaya kepada DPR.
Salah satu tuntutan aksi yang disorot yakni rasa tidak puas terhadap parlemen yang tidak acuh dengan kritik masyarakat atas revisi UU KPK, yang kemudian disahkan DPR. Mereka merasa reformasi telah dikorupsi.
Jelang akhir masa jabatan anggota DPR 2014-2019, warga memprotes berbagai produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat.
Sejumlah RUU dikebut di tengah berbagai kecaman karena dinilai mengganggu kebebasan sipil, hanya menguntungkan segelintir elite, melanggengkan praktik privatisasi, dan mengancam lingkungan hidup.
Keresahan itulah yang berusahan disuarakan dalam aksi Reformasi Dikorupsi.
Tidak hanya turun ke jalan, kampanye di media sosial dengan tagar #ReformasiDikorupsi menjadi trending berhari-hari.
Terdapat tujuh poin tuntutan yang disuarakan dalam Reformasi Dikorupsi, meliputi:
Pesta demokrasi rakyat justru direspons dengan tindakan represif.
Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kepolisian menangkap sedikitnya 1.489 orang dalam demonstrasi Reformasi Dikorupsi pada 24-30 September 2019.
Dari jumlah tersebut, sedikitnya 380 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Aksi memang diwarnai kericuhan antara aparat dan peserta aksi.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan dengan jelas polisi memukul, menendang, dan menggunakan benda tajam ke arah demonstran.
Dilansir pemberitaan Kompas.com sebelumnya, di Jakarta, sekitar 90 demonstran dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).
Tiga di antaranya mengalami luka serius pada bagian kepala dan membutuhkan perawatan intensif.
Kejadian serupa juga terjadi di kota lainnya. Kontras mencatat, aksi kebrutalan aparat menyebabkan lima orang masa aksi meninggal dunia.
Mereka adalah Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo; pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi atau Yadi; serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra.
Randi dan Yusuf meninggal pada 26 September 2019. Kompas.commencatat, Randi meninggal setelah terkena tembakan di ketiak kiri yang tembus ke dada kanan. Sementara Yusuf mengalami luka berat di kepala.
Kasus Randi telah selesai di pengadilan. Terpidana adalah Brigadir Abdul Malik. Ia divonis 4 tahun penjara.
Namun, kasus Yusuf belum tuntas dan pelakunya belum diketahui.
Adapun Yadi meninggal karena terpapar gas air mata saat demo di sekitar gedung DPR RI pada 25 September 2019. Ia mengalami asma akibat gas air mata, lalu meninggal dunia.
Tim Forensik Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur memastikan tidak ada tanda kekerasan pada jasad Yadi.
Akbar mendapat luka di kepala dan ditemukan di trotoar di kawasan Slipi, Jakarta Barat pada 26 September 2019.
Ia sempat dirawat, tetapi meninggal pada 10 Oktober 2019.
Sementara Bagus tewas akibat ditabrak truk trailer di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara pada 25 September 2019 ketika hendak mengikuti aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI.
Lima tahun berlalu setelah serangkaian aksi Reformasi Dikorupsi.
Aksi ini berhasil memaksa DPR RI menunda pengesahan sejumlah RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan.
Namun penundaan itu belum dapat dikatakan sebagai keberhasilan akhir.
Pemerintah tetap meloloskan beberapa RUU kontroversial, seperti RUU KPK, RUU Sumber Daya Air, RUU MD3 dan RUU Perancangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini