BANDUNG, KOMPAS.com - Ernie C Siregar tak pernah membayangkan hidupnya akan berbelok sejauh ini. Lulusan Psikologi tahun 1996 itu awalnya bercita-cita menjadi seorang HRD.
Pada 2009, setelah mendampingi suaminya yang bertugas di luar daerah, ia menempuh kuliah S2 dan mendirikan biro psikologi pertamanya di Bandung pada 2012. Fokus awalnya sederhana yakni layanan konseling, rekrutmen, dan asesmen.
Namun, sebuah peristiwa kecil justru mengubah jalan hidupnya. Suatu hari, seorang remaja dengan autisme datang untuk konsultasi. Minim pengalaman, Erni mencoba menanganinya dengan cara biasa. Hasilnya, ia justru ditinju di wajah.
“Kalau sekarang kan tahu, nggak boleh terlalu dekat, harus jaga jarak. Tapi entah kenapa, waktu itu saya merasa ditonjok sama Tuhan. Oh… berarti ilmu saya nggak cukup,” kenang Ernie.
Dari situlah muncul dorongan besar untuk belajar lebih jauh tentang dunia anak berkebutuhan khusus (ABK).
Belajar Tanpa Henti dengan Restu Suami
Dorongan itu ia sampaikan kepada sang suami. Restu dan dukungan penuh pun ia terima, meski perjalanan tak mudah.
Tahun 2010, Erni melanjutkan S2, lalu S3 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan fokus Pendidikan Khusus, program pertama di Indonesia saat itu.
Tak berhenti di dalam negeri, ia juga menimba ilmu ke luar negeri, mengikuti berbagai konferensi dan pelatihan, termasuk metode Applied Behaviour Analysis (ABA).
Perjuangan ini penuh pengorbanan. Sang suami bahkan rela menggadaikan SK pegawai TNI untuk tambahan modal.
“Saya masih ingat pinjem uang untuk buka sekolah. Sampai sekarang SK masih digadai di BRI, belum lunas,” ujar sang suami, Bayu Aji Widodo, sambil tertawa.
Bayu memberi kepercayaan penuh dengan satu filosofi sederhana namun kuat:
“Tujuannya cuma satu, tugasmu membantu. Jangan pernah mengharap sesuatu dari pekerjaanmu ini. Kalau ikhlas, nanti rezekinya datang sendiri,” pesannya pada Erni.
Pelan tapi pasti, biro psikologi itu berkembang menjadi pusat terapi ABK. Tahun 2014, Erni membuka layanan pertama khusus anak dengan autisme.
Dua tahun kemudian, ia mulai fokus penuh pada ABK, ditandai dengan pembukaan cabang di Garut atas permintaan orangtua.
Dari sana, Edufa—pusat terapi yang ia rintis—terus tumbuh. Cabang hadir di Palembang, Medan, Lampung, Cimahi, Yogyakarta, Solo, dan banyak kota lain.
Hingga kini, lebih dari 30 cabang berdiri di seluruh Indonesia. Pada September 2025, Edufa akan hadir di Pontianak.
“Banyak cabang itu berdiri bukan karena promosi, tapi karena kepercayaan. Karyawan dan konselor ikut urunan untuk buka cabang baru. Mereka percaya dengan filosofi yang dibangun,” kata Ketua Asosiasi Terapis Perilaku Indonesia (ATePI) ini.
Tumbuh Bersama Anak-Anak Istimewa
Saat ini, lebih dari 500 anak rutin menjalani terapi di Edufa. Sekitar 80 lainnya mendapat pendampingan home based. Metode ABA menjadi andalan, dengan pendekatan perilaku konsisten, konsekuensi jelas, serta keterlibatan aktif orangtua.
“Yang paling menyentuh bagi saya adalah saat mendengar suara pertama dari anak-anak non-verbal. Ada yang dulu tak bisa bicara, sekarang jadi finalis olimpiade matematika. Itu rasanya luar biasa,” ujar Ernie dengan mata berbinar.
Baginya, setiap pukulan, cakaran, atau teriakan dari anak-anak bukan alasan untuk menyerah.
“Itu pukulan anak surga. Kalau saya bisa membantu mereka bicara, mandiri, itu kebahagiaan terbesar,” tuturnya.
Dari perjalanan panjang itu, Ernie belajar bahwa makna rezeki bukan sekadar uang.
“Dulu kami pikir rezeki itu uang. Sekarang rezeki itu sehat, anak-anak sehat, itu kebahagiaan luar biasa,” ucap pimpinan Edufa pusat ini.
Karena itulah, ia berusaha tidak memberatkan orangtua siswa. Edufa menerapkan sistem subsidi silang. Bagi keluarga mampu, biaya terapi penuh berlaku. Namun, bagi yang kurang mampu, ada jalan lain: belajar dan terlibat.
“Kalau nggak punya uang, orangtua harus sediakan waktu, saya yang akan ajarkan para orangtua ini. Karena tanpa keterlibatan mereka, anak tidak akan berkembang maksimal,” jelas Erni.
Mimpi ke Depan: Mandiri dan Berkarya
Ke depan, Erni ingin memperluas fokus pada remaja dan dewasa dengan autisme. Ia tengah menyiapkan balai latihan kerja agar mereka bisa belajar keterampilan, menghasilkan produk, hingga memperoleh penghasilan sendiri.
“Kami ingin anak-anak ini mandiri. Bukan hanya terapi, tapi bisa berkarya seperti melukis, memasak, membuat kerajinan. Kalau tidak ditolong, mereka hanya akan tiduran di sofa. Tapi kalau diberi kesempatan, mereka bisa bersinar,” ucapnya penuh keyakinan.
Perjalanan Ernie yang tidak mudah, menginspirasi banyak orang. Namun ucapan terima kasih dari para orangtua menjadi penghargaan terindah bagi dirinya.
“Makasih Bu Ernie, anak saya sudah bisa bicara, bisa sekolah.” Bagi Erni, kalimat sederhana seperti itu lebih berharga daripada penghargaan apa pun.
https://bandung.kompas.com/read/2025/09/08/051700678/kisah-ernie-siregar-perempuan-yang-menukar-nyaman-demi-masa-depan-anak-autis