MALUKU Raya (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) adalah rumah bagi laut biru yang tak bertepi, hutan tropis rimbun, dan perut bumi yang menyimpan emas, nikel, hingga migas. Di atas kertas, inilah negeri kaya raya.
Namun, siapa pun yang berkunjung ke desa-desa kecil di Pulau Buru atau Halmahera dan banyak pulau lainnya di Maluku Raya, akan tahu: realitas tak selalu seindah catatan angka.
Banyak keluarga masih hidup pas-pasan —kalau tak mau disebut miskin—anak-anak di berbagai pelosok Maluku Raya harus berjalan jauh untuk bisa sekolah, dan akses kesehatan kerap terbatas.
Data BPS Maluku (Maret 2025) memang menunjukkan angka kemiskinan menurun menjadi 15,38 persen, dengan 287.000 jiwa penduduk miskin.
Namun jika ditelisik, jurang masih lebar: di kota hanya 4,36 persen penduduk miskin, sementara di desa, negeri atau kampung-kampung dan dusun angkanya mencapai 24,61 persen.
Wilayah kaya sumber daya, tetapi warganya banyak yang masih hidup dalam keterbatasan dan serba kekurangan—paradoks inilah yang masih terus membayangi Maluku Raya sejauh ini.
Di balik narasi pertumbuhan ekonomi, Maluku Raya juga menyimpan luka ekologis. Di Pulau Buru, aktivitas tambang emas meninggalkan jejak panjang: hutan rusak, air tercemar, dan masyarakat adat kehilangan ruang hidup.
Sementara d Halmahera Tengah, industri nikel berkembang cepat dengan dalih memasok kebutuhan energi hijau dunia. Namun, yang dirasakan warga lokal justru banjir besar, air sungai keruh, dan laut yang tak lagi ramah untuk nelayan.
Baca juga: Noel dan Godaan Para Aktivis
Data WALHI dan laporan lapangan menunjukkan hampir 38.000 hektar tanah Halmahera telah masuk izin tambang, ditambah hampir 45.000 hektar konsesi untuk industri nikel.
Kawasan hulu yang dulu menyerap air kini gundul, dan banjir bandang kerap menghantam desa pesisir.
Dalam satu tahun, 2.745 kasus ISPA tercatat hanya di satu Puskesmas sekitar tambang. Angka yang mencerminkan betapa lingkungan yang rusak langsung menghantam tubuh manusia yang rapuh.
Di White Paper berjudul “Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Maluku Raya: Pengawasan Tambang dan Pengelolaan SDA secara Berkelanjutan” yang disusun oleh Moluccan Network dan Institute for Maluku Studies (Agustus 2025) menggambarkan betapa rapuhnya tata kelola SDA di Maluku.
Bukan hanya soal eksploitasi tambang yang minim pengawasan, tetapi juga ketimpangan sosial, serta ancaman terhadap kearifan lokal dan masa depan ekologis kita.
Inilah wajah nyata resource curse—kutukan sumber daya. Kekayaan alam yang seharusnya membawa berkah justru menimbulkan bencana sosial dan ekologis bagi masyarakat yang di dalamnya.
Maluku sebenarnya punya kearifan ekologis yang dikenal luas: sasi. Sebuah aturan adat yang mengatur kapan laut, sungai, atau hutan boleh diambil hasilnya.