KADANG, politik adalah panggung yang tak memerlukan mikrofon. Suara kemarahan bisa terdengar tanpa pengeras suara.
Di Pati, ia terdengar di antara desir angin alun-alun, di sela doa yang dipanjatkan di langgar kecil, di jalan-jalan yang ditutup untuk massa yang datang.
Bupati Sudewo berdiri di tengahnya—atau, mungkin, di hadapan mereka. Di seberang tatapan yang tak lagi ramah.
Dalam enam bulan, ia menjadi tokoh yang diceritakan di warung kopi, di pos ronda, di timeline media sosial. Namanya dibicarakan tak sebagai simbol prestasi, tapi sebagai alamat kemarahan.
Baca juga: Pajak dan Protes Rakyat dalam Sejarah Indonesia
Kebijakan-kebijakan itu datang cepat, dan pergi lebih cepat lagi—bukan karena berubah pikiran setelah diskusi yang jernih, melainkan karena dibatalkan di bawah tekanan.
Pajak itu angka. Namun di mata rakyat, ia lebih seperti tanda tanya. Kenaikan PBB-P2 sampai 250 persen mungkin dimaksudkan untuk mengisi kas daerah.
Bupati berkata, itu batas maksimum, bukan tarif rata-rata. Namun, siapa yang peduli angka bila perut terasa kosong?
Ketika berita tentang proyek videotron bernilai miliaran beredar di saat yang sama, tanda tanya itu berubah jadi tuduhan.
Orang mengukur keadilan dengan neraca sederhana: mengapa kami yang harus menanggung beban, sementara yang kami dapat adalah proyek yang tak kami minta?
Baca juga: Arogansi Bupati Pati Dilawan Rakyat
Pajak dibatalkan. Tarif kembali ke 2024. Uang yang telanjur dibayar akan dikembalikan. Namun yang hilang bukan hanya uang, melainkan keyakinan bahwa pemerintah mengerti rasa.
Lalu datang kabar dari rumah sakit. RSUD Soewondo memutuskan hubungan kerja dengan 220 pegawai honorer.
Mereka yang dipecat bukanlah orang-orang baru. Sebagian telah mengabdi belasan, bahkan puluhan tahun. Mereka pergi tanpa pesangon. Yang dibawa pulang hanyalah Jaminan Hari Tua dari BPJS.
Yang ironis: pintu rekrutmen baru dibuka untuk 330 pegawai. Seolah mengabdi lama tak berarti, seolah loyalitas bisa diganti dengan lembar formulir dan wawancara baru.
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu memutuskan: 13 Agustus adalah hari mereka turun ke jalan. Tuntutannya membesar, dari soal pajak dan PHK, menjadi soal cara memimpin.