DI UJUNG selatan Kota Batam (Kepulauan Riau), Pulau Galang berdiri tenang di antara riak ombak Selat Malaka. Meski kecil di peta, pulau ini memanggul sejarah besar kemanusiaan.
Kini, namanya kembali bergema setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana menampung 2.000 warga Gaza yang terluka akibat perang, untuk mendapatkan perawatan medis di sini.
Gagasan ini patut diapresiasi karena meneguhkan kembali peran Indonesia dalam diplomasi kemanusiaan global.
Namun, Pulau Galang bukanlah lembar kosong yang bisa diisi sesuka hati. Ia adalah ruang yang sarat memori kolektif, tempat di mana nilai luhur dan adiluhung “menghormati kemanusiaan dan keadilan” sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 pernah dihidupkan dan dijaga.
Sejak 1979, Pulau Galang telah menjadi bagian penting dari peta kemanusiaan dunia. Ketika ASEAN dan UNHCR menetapkannya sebagai kamp pengungsian bagi manusia perahu Vietnam yang melarikan diri dari perang saudara, pulau ini menjadi rumah sementara bagi lebih dari 250.000 jiwa selama 17 tahun.
Rumah sakit, sekolah, rumah ibadah lintas agama, dan berbagai fasilitas sosial berdiri di sana.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Pulau Galang untuk Warga Gaza, Begini Rencana dan Pro Kontranya
Kini, sisa sejarah itu dikenang melalui Camp Vietnam, monumen, dan museum yang menjadi saksi bisu solidaritas Indonesia. Dan kini sangat membutuhkan perhatian dan perbaikan (revitalisasi memori sejarah kemanusiaan).
Dua dekade kemudian, pada 2020, gelombang pandemi Covid-19 kembali menghidupkan peran strategis Pulau Galang.
Di tengah ketakutan global, pemerintah membangun Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Covid-19 di pulau ini sebagai pusat isolasi dan perawatan pasien.
Fasilitas tersebut beroperasi hingga Desember 2022, menjadi bagian dari garda terdepan Indonesia dalam menahan laju penyebaran virus.
Kini, misi kemanusiaan kembali memanggil. Pulau Galang dipilih untuk merawat korban perang dari Gaza, dengan alasan keamanan dan letaknya yang terisolasi secara geografis.
Namun, jika ingin benar-benar menjalankan perannya, revitalisasi mutlak diperlukan.
Fasilitas kesehatan warisan pandemi harus dipersiapkan ulang agar memenuhi standar perawatan luka perang dan rehabilitasi jangka panjang.
Lebih dari sekadar perbaikan fisik, revitalisasi juga menyentuh makna: Pulau Galang harus kembali dikenali sebagai “Pulau Kemanusiaan” identitas yang bukan hanya simbolis, tetapi juga diwujudkan dalam kebijakan nyata yang memprioritaskan misi kemanusiaan, pengungsian, perawatan medis, pelatihan relawan, hingga riset kesehatan global.
Di luar peran globalnya, Pulau Galang dan gugusan pulau di sekitarnya adalah rumah bagi Suku Laut, komunitas asli yang mewarisi budaya maritim Nusantara.
Baca juga: Menteri Tidak Bercerita, Tiba-tiba Bercanda
Mereka adalah nelayan ulung, pembaca cuaca alami, dan penjaga ekosistem laut yang kearifannya diwariskan lintas generasi.