Namun, keberadaan mereka semakin jarang terlihat di ruang publik. Pembangunan yang tak berpihak berpotensi mencabut mereka dari akar peradabannya.
Label “Pulau Kemanusiaan” seharusnya juga mencakup kemanusiaan bagi mereka: menjamin hak tinggal, akses terhadap sumber daya, serta melindungi ruang budaya mereka agar tidak tergerus proyek-proyek raksasa yang mengabaikan kepentingan lokal.
Luka sosial akibat relokasi paksa di Pulau Rempang untuk proyek Rempang Eco City masih segar dalam ingatan, dan tragedi semacam itu tidak boleh singgah lagi di Galang.
Secara administratif, Pulau Galang berada di bawah Kota Batam, wilayah yang kerap dipuji sebagai lokomotif investasi nasional.
Namun, di balik angka-angka makro, realitas sosial bercerita lain. Data BPS Kepulauan Riau 2024 mencatat investasi di Batam tumbuh 97 persen secara tahunan.
Ironisnya, kemiskinan justru naik 0,5 persen menjadi 7,2 persen. Gini Ratio mencapai 0,42, lebih buruk dari rata-rata nasional 0,38, dan tingkat pengangguran terbuka berada di angka 6,8 persen, jauh di atas rata-rata nasional 5,3 persen.
Industri padat modal seperti manufaktur hanya mampu menyerap sekitar 15 persen tenaga kerja lokal. Pertumbuhan ekonomi yang seperti ini adalah pertumbuhan yang pincang membesar di atas kertas, tetapi tidak menetes ke bawah.
Pulau Galang, dengan sejarah dan potensi yang dimilikinya, dapat menjadi manifestasi nyata amanat Pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Baca juga: Bupati Pati di Ujung Tali Kesabaran Rakyat
Bayangkan jika pulau ini benar-benar dikelola sebagai pusat misi medis internasional yang siap siaga untuk krisis kemanusiaan, pusat pendidikan dan pelatihan relawan dengan jejaring global, serta museum dan arsip kemanusiaan yang merekam perjalanan panjang solidaritas bangsa ini.
Dan di dalamnya, ada zona perlindungan budaya Suku Laut yang memastikan mereka tetap menjadi bagian dari masa depan pulau, bukan sekadar catatan di masa lalu.
Pulau Galang adalah lilin kecil di ujung negeri, tetapi cahayanya pernah menerangi ribuan jiwa—dari pengungsi Vietnam, pasien Covid-19, hingga rencananya korban perang Gaza. Lilin itu juga menerangi anak cucu Suku Laut yang telah menjaga lautnya selama berabad-abad.
Seperti pesan Bung Hatta, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.”
Pulau Galang adalah salah satu lilin itu—dan tugas kita adalah memastikan apinya terus menyala, tanpa pernah padam oleh kepentingan sempit dan sesaat.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini