Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alexander Philiph Sitinjak
ASN

Aparatur Sipil Negara di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai Auditor, sekarang aktif di Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik, Ketua Bidang Lintas Iman Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia, Dewan Pertimbangan PMKRI Cabang Bogor dan pernah menjadi Wakil Sekretaris Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik Pengurus Pusat Pemuda Katolik 2018-2021

Mendengar Suara dari Bumi Cendana: Polemik Geothermal di NTT

Kompas.com - 07/09/2025, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belakangan ini, dihadapkan pada dilema besar: melanjutkan proyek energi panas bumi atau berhenti sejenak untuk mendengarkan suara masyarakatnya sendiri.

Geothermal, yang kerap disebut energi bersih dan terbarukan, kini justru menjadi sumber kontroversi di Flores dan Lembata.

Pemerintah pusat menempatkan proyek ini sebagai bagian penting dari agenda transisi energi menuju "net zero emission 2060".

Namun, gelombang penolakan dari pimpinan Gereja Katolik, komunitas adat, hingga organisasi masyarakat sipil mengingatkan bahwa pembangunan tidak cukup diukur dengan angka megawatt, tetapi juga dengan keutuhan hidup manusia dan kelestarian ciptaan.

Secara teknis, Flores memang memiliki potensi panas bumi yang besar, diperkirakan mencapai 820 megawatt, setara dengan lebih dari setengah kebutuhan listrik seluruh NTT saat ini.

Indonesia memiliki potensi geothermal sekitar 24 gigawatt, terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, tetapi kapasitas terpasang hingga 2024 baru mencapai 2,3 gigawatt atau kurang dari 10 persen.

Flores dan Lembata diproyeksikan menjadi salah satu lumbung baru untuk menutup kesenjangan itu.

Logika pembangunan ini tentu menggoda. Meski rasio elektrifikasi NTT sudah mencapai 98,1 persen pada 2024, ketimpangan masih terasa.

Banyak desa di Flores, Lembata, dan Alor memang tercatat teraliri listrik. Namun, dalam kenyataan hanya menyala beberapa jam sehari, dengan tegangan rendah dan sering padam.

Geothermal dipandang sebagai solusi: energi stabil, berkelanjutan, dan lebih ramah lingkungan dibanding diesel atau batu bara.

Namun, pengalaman menunjukkan paradoks. PLTP Ulumbu di Manggarai (12,5 MW) dan PLTP Mataloko di Ngada (2,5 MW) telah beroperasi, tetapi masyarakat sekitar masih hidup dalam bayang-bayang byar-pet, istilah sehari-hari untuk listrik yang sebentar menyala lalu padam, tidak stabil, dan sulit diandalkan.

Ironi ini melahirkan pertanyaan wajar: untuk siapa sebenarnya listrik dari perut bumi ini dihasilkan?

Dari mimbar Gereja hingga rumah adat, suara penolakan semakin lantang. Pada Sidang Tahunan di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere (10–13 Maret 2025), enam uskup dari Provinsi Gerejawi Ende menandatangani Surat Gembala Pra-Paskah.

Mereka adalah Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD (Uskup Agung Ende), Mgr. Silvester San (Uskup Denpasar), Mgr. Fransiskus Kopong Kung (Uskup Larantuka), Mgr. Siprianus Hormat (Uskup Ruteng), Mgr. Edwaldus Martinus Sedu (Uskup Maumere), dan Mgr. Maksimus Regus (Uskup Labuan Bajo).

Dalam surat itu, para uskup menegaskan bahwa topografi Flores dan Lembata, yang didominasi gunung dan bukit dengan sumber air terbatas, membuat eksploitasi geothermal sangat berisiko bagi ekosistem.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau