PERNYATAAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengaku bahagia digugat Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat memantik diskusi publik yang menarik.
Dalam wawancara yang dikutip WartaKota (Tribunnews) pada 8 Agustus 2025, ia mengatakan, “Saya bahagia digugat, ini bukti saya bekerja.”
Ungkapan ini disampaikan setelah FKSS bersama tujuh organisasi Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) mendaftarkan gugatan terhadap Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 yang menetapkan penambahan jumlah siswa per rombongan belajar menjadi 50 orang.
Kebijakan yang diteken pada 26 Juni 2025 itu, dianggap berpotensi mengganggu kualitas pembelajaran, terutama di sekolah swasta yang memiliki keterbatasan fasilitas.
Menurut pemberitaan Pikiran Rakyat pada 7 Agustus 2025, gugatan resmi didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada 1 Agustus 2025.
Baca juga: Gugat Dedi Mulyadi, 8 Organisasi Sekolah Swasta: Cabut Aturan Rombel 50 Siswa!
Sidang persiapan pun sudah digelar pada 7 Agustus 2025. Sebelumnya, forum kepala sekolah dan organisasi swasta telah mengajukan surat keberatan, menggelar dialog dengan pihak Dinas Pendidikan, serta melakukan pertemuan dengan Komisi V DPRD Jawa Barat.
Namun, seperti dikatakan Ketua FKSS Jawa Barat Ade D. Hendriana, tidak ada solusi konkret yang muncul.
Yang lebih memprihatinkan, dalam pemberitaan Pikiran Rakyat edisi 12 Agustus 2025, Ade D. Hendriana mengungkap adanya indikasi intimidasi terhadap pihak-pihak yang menggugat.
Bentuknya beragam, mulai dari audit mendadak bantuan pendidikan Pemprov ke sekolah swasta hingga tekanan langsung (pemanggilan dinas) kepada ketua FKSS di daerah-daerah agar menarik gugatan.
Temuan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah iklim demokrasi di Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya memberi ruang aman bagi warga untuk menjalankan hak hukum mereka?
Dalam sistem negara hukum, gugatan adalah mekanisme formal yang sah untuk menguji kebijakan.
Gugatan bukanlah bentuk perlawanan anarkis, melainkan kanal legal yang disediakan undang-undang agar kebijakan publik bisa dikoreksi jika dianggap merugikan.
Di banyak negara demokrasi, gugatan seperti ini dipandang sebagai wujud partisipasi aktif warga negara.
Artinya, pemimpin publik idealnya menyambut gugatan dengan sikap menghargai proses hukum, bukan sekadar menjadikannya bahan retorika bahwa dirinya telah bekerja.
Konteks ini menjadi penting karena reaksi seorang kepala daerah akan memengaruhi persepsi publik terhadap kualitas demokrasi.
Baca juga: Kritik Ormas Islam ke Dedi Mulyadi dan Bahaya Kepemimpinan Satu Arah