INDONESIA sudah terlalu lama hidup dan terjebak dalam paradoks gula. Setiap tahun, konsumsi terus menanjak seiring pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan pola makan yang semakin banyak bergantung pada produk olahan.
Namun, produksi domestik tidak pernah bisa mengimbangi. Data resmi Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan per Juli 2025, menunjukkan kebutuhan gula nasional pada 2024 sudah menembus 6,8 - 7 juta ton per tahun.
Dari jumlah sebesar itu, hanya sekitar 2,2 hingga 2,3 juta ton yang berhasil dipenuhi dari produksi dalam negeri. Artinya, ada defisit lebih dari 4,5 juta ton yang harus ditambal dengan impor.
Impor ini sebagian besar berbentuk gula mentah atau raw sugar yang diolah menjadi gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, sementara untuk gula konsumsi rumah tangga, sebagian pun masih diisi dari luar negeri.
Bayangkan, negara dengan sejarah panjang perkebunan tebu, dengan lahan luas dan tenaga kerja berlimpah, masih harus bergantung pada kapal-kapal pembawa raw sugar yang bersandar di pelabuhan-pelabuhan besar Nusantara.
Swasembada yang sejak lama dijanjikan hanya tinggal slogan di atas kertas.
Baca juga: Saatnya Perkebunan Naik Kelas: Ekspor Olahan, Bukan Sekadar Mentah
Sejarah industri gula di Nusantara sebenarnya sarat kebanggaan sekaligus luka. Pada awal abad ke-18, VOC mendirikan ratusan pabrik gula di Jawa.
Abad ke-19 menjadikan Jawa salah satu pusat produksi gula terbesar di dunia. Namun, kebanggaan itu hanya untuk kolonial. Bagi rakyat pribumi, gula identik dengan tanam paksa, cultuurstelsel, dan kemiskinan.
Sawah-sawah subur dipaksa ditanami tebu, para petani kehilangan kendali atas tanahnya, dan tenaga mereka habis untuk memenuhi kebutuhan kas kolonial.
Hingga dekade 1960-an, industri gula Indonesia masih terpusat di Jawa. Namun, yang tersisa hanyalah pabrik-pabrik kolonial yang menua, mesin usang, kapasitas terbatas, dan hasil produksi yang tidak lagi memadai untuk kebutuhan bangsa yang baru merdeka.
Setelah kemerdekaan, nasionalisasi perusahaan asing membuat pabrik-pabrik gula diambil alih oleh negara. Namun, tanpa suntikan modal baru, tanpa teknologi yang memadai, kondisi stagnan.
Produksi yang pada awal abad ke-20 sempat menyentuh jutaan ton justru merosot. Pada era 1960-an, kebutuhan gula nasional tidak lagi tercukupi, sementara konsumsi meningkat seiring urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Orde Baru yang berkuasa sejak 1966, melihat ini sebagai masalah mendasar yang tidak bisa ditunda. Karena itu, Repelita I yang dimulai pada 1 April 1969, menempatkan pertanian sebagai fondasi pembangunan.
Revitalisasi pabrik-pabrik gula di Jawa dilakukan, tetapi pemerintah cepat sadar bahwa Jawa sudah terlalu padat. Lahan terbatas, kepemilikan tanah terfragmentasi, kapasitas pabrik nyaris mentok.
Maka, pandangan diarahkan ke luar Jawa. Lampung muncul sebagai jawaban. Wilayah ini memiliki lahan luas, akses ke pelabuhan, dan sudah sejak lama menjadi lokasi kolonisasi dan transmigrasi.
Pada 1975, pemerintah menetapkan Lampung sebagai pusat industri gula baru di Sumatera.
Pilihan itu bukan kebetulan, tetapi konsekuensi dari sejarah panjang kolonisasi Belanda dan kebijakan transmigrasi Orde Baru.
Dengan hadirnya transmigran Jawa dalam jumlah besar di Lampung, tersedia tenaga kerja, tersedia basis sosial, dan tersedia lahan untuk menggelar proyek besar industri gula (Agesta, 2016).
PT Gunung Madu Plantations (GMP) berdiri pada 1975 sebagai pionir. Perusahaan ini membuka ribuan hektar lahan, mendirikan pabrik berkapasitas besar, membangun jalan dan irigasi, dan merangkul masyarakat sekitar dengan berbagai skema.
Ada pola plasma, ada kerja sama operasi, ada program bina lingkungan. GMP bukan hanya produsen gula, melainkan juga aktor sosial yang membentuk lanskap Lampung Tengah.