Geothermal, yang kerap disebut energi bersih dan terbarukan, kini justru menjadi sumber kontroversi di Flores dan Lembata.
Pemerintah pusat menempatkan proyek ini sebagai bagian penting dari agenda transisi energi menuju "net zero emission 2060".
Namun, gelombang penolakan dari pimpinan Gereja Katolik, komunitas adat, hingga organisasi masyarakat sipil mengingatkan bahwa pembangunan tidak cukup diukur dengan angka megawatt, tetapi juga dengan keutuhan hidup manusia dan kelestarian ciptaan.
Secara teknis, Flores memang memiliki potensi panas bumi yang besar, diperkirakan mencapai 820 megawatt, setara dengan lebih dari setengah kebutuhan listrik seluruh NTT saat ini.
Indonesia memiliki potensi geothermal sekitar 24 gigawatt, terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, tetapi kapasitas terpasang hingga 2024 baru mencapai 2,3 gigawatt atau kurang dari 10 persen.
Flores dan Lembata diproyeksikan menjadi salah satu lumbung baru untuk menutup kesenjangan itu.
Logika pembangunan ini tentu menggoda. Meski rasio elektrifikasi NTT sudah mencapai 98,1 persen pada 2024, ketimpangan masih terasa.
Banyak desa di Flores, Lembata, dan Alor memang tercatat teraliri listrik. Namun, dalam kenyataan hanya menyala beberapa jam sehari, dengan tegangan rendah dan sering padam.
Geothermal dipandang sebagai solusi: energi stabil, berkelanjutan, dan lebih ramah lingkungan dibanding diesel atau batu bara.
Namun, pengalaman menunjukkan paradoks. PLTP Ulumbu di Manggarai (12,5 MW) dan PLTP Mataloko di Ngada (2,5 MW) telah beroperasi, tetapi masyarakat sekitar masih hidup dalam bayang-bayang byar-pet, istilah sehari-hari untuk listrik yang sebentar menyala lalu padam, tidak stabil, dan sulit diandalkan.
Ironi ini melahirkan pertanyaan wajar: untuk siapa sebenarnya listrik dari perut bumi ini dihasilkan?
Dari mimbar Gereja hingga rumah adat, suara penolakan semakin lantang. Pada Sidang Tahunan di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere (10–13 Maret 2025), enam uskup dari Provinsi Gerejawi Ende menandatangani Surat Gembala Pra-Paskah.
Mereka adalah Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD (Uskup Agung Ende), Mgr. Silvester San (Uskup Denpasar), Mgr. Fransiskus Kopong Kung (Uskup Larantuka), Mgr. Siprianus Hormat (Uskup Ruteng), Mgr. Edwaldus Martinus Sedu (Uskup Maumere), dan Mgr. Maksimus Regus (Uskup Labuan Bajo).
Dalam surat itu, para uskup menegaskan bahwa topografi Flores dan Lembata, yang didominasi gunung dan bukit dengan sumber air terbatas, membuat eksploitasi geothermal sangat berisiko bagi ekosistem.
“Kami bukan menolak energi terbarukan, tetapi menolak pembangunan yang menyingkirkan masyarakat, merusak ruang hidup, dan mengancam rumah bersama,” tulis mereka.
Suasana sidang menggambarkan keseriusan Gereja menghadapi isu ini: para uskup mendengarkan laporan advokasi, menimbang pengalaman masyarakat adat, dan akhirnya dengan suara bulat menandatangani surat yang kemudian dibacakan di paroki-paroki menjelang Pekan Suci.
Resonansi surat itu terasa luas. Di paroki pedalaman, umat mendengarkannya dengan wajah tegang sekaligus lega, seakan suara hati mereka kini bergema dari mimbar Gereja.
Di Wae Sano, Manggarai Barat, warga berkumpul setelah misa dan berbisik: “Gereja berdiri bersama kita.”
Seorang petani tua meneteskan air mata sambil berkata, “Kalau Gereja sudah bicara, berarti kita tidak sendirian.”
Di Lembata, para nelayan menyambutnya dengan doa rosario di pantai. Di media sosial, aktivis muda menyebarkan potongan isi surat dengan tagar #ProKehidupan, menjadikannya simbol perlawanan lintas paroki.
Surat Gembala itu bukan lagi sekadar dokumen pastoral, melainkan bendera moral yang menyatukan Gereja, masyarakat adat, dan LSM dalam satu kata kunci: kehidupan harus lebih diutamakan daripada keuntungan sesaat.
Sikap Gereja sejalan dengan keprihatinan masyarakat adat. Di Wae Sano, warga menyebut proyek geothermal sebagai ancaman terhadap “ruang hidup” mereka, bukan sekadar istilah ekologis, melainkan kosmologi yang mencakup golo lonto, mbaru kaeng, wae teku, dan puar: bukit, rumah adat, mata air, dan hutan yang sejak leluhur dijaga sebagai fondasi kehidupan.
Yosef Erwin Rahmat, tokoh masyarakat setempat, menegaskan bahwa eksploitasi geothermal akan menghancurkan lima filosofi ruang hidup mereka dan membuat kehidupan kehilangan makna.
Yosefina Voni, seorang ibu desa, menambahkan bahwa geothermal hanya akan membuat hidup pahit karena tanah, air, dan ruang sosial warisan leluhur akan hilang.
Koalisi masyarakat sipil Flores, mulai dari JPIC OFM, PADMA Indonesia, FORMMADA NTT, AMMAN FLOBAMORA, hingga KOMMAS NGADA, menyuarakan hal yang sama.
Bagi mereka, masyarakat lebih membutuhkan tanah untuk hidup dan diwariskan kepada anak cucu daripada proyek yang berisiko menghancurkan masa depan.
Mereka tidak menolak listrik, tetapi menolak logika pembangunan yang mengorbankan sawah, kebun kopi, ladang kakao, dan cengkeh, sumber pangan dan penghidupan sehari-hari.
Penolakan mereka lahir dari pengalaman pahit: janji pembangunan kerap tidak sebanding dengan kerugian masyarakat kecil.
Pemerintah daerah berada pada posisi sulit. Gubernur Melkiades Laka Lena sempat menyatakan proyek geothermal akan ditunda dan berjanji mendengarkan suara masyarakat, bahkan mengagendakan pertemuan dengan para uskup.
Namun, langkah membentuk Satuan Tugas (Satgas) justru memunculkan kecurigaan baru. WALHI NTT dan Tim Advokasi Geothermal Keuskupan Agung Ende menilai Satgas tidak independen dan hanya menjadi alat legitimasi proyek.
Satgas yang tidak melibatkan masyarakat adat, menurut mereka, hanya memperpanjang ketidakpercayaan. Kritik ini menunjukkan rapuhnya relasi antara pemerintah, investor, dan masyarakat.
Di balik perdebatan ini, yang paling menonjol adalah ketidakadilan distribusi manfaat. Energi memang dihasilkan, tetapi masyarakat lokal tetap hidup dalam ketidakpastian listrik.
Investasi memang masuk, tetapi tanah adat hilang. Proyek dicanangkan atas nama keberlanjutan, tetapi yang berkelanjutan justru konflik sosial dan kerusakan ekologi.
Jika dibiarkan, maka pembangunan energi di NTT hanya akan dikenang sebagai catatan sejarah bagaimana masyarakat dikorbankan demi target nasional.
Dalam situasi ini, Gubernur NTT seharusnya tidak hanya bertindak sebagai pelaksana kebijakan pusat atau fasilitator investasi. Ia mesti berdiri sebagai penjaga nurani masyarakat.
Ada tiga hal mendesak yang bisa dilakukan. Pertama, membangun dialog sejati, bukan sosialisasi sepihak, melainkan perjumpaan yang melibatkan Gereja, masyarakat adat, akademisi, dan LSM secara setara. Dialog adalah jalan memulihkan kepercayaan.
Kedua, memastikan perlindungan ekologis melalui AMDAL yang ketat, transparan, dan diawasi lembaga independen. Ekosistem rapuh Flores tidak boleh dikorbankan.
Ketiga, menjamin keadilan manfaat. Energi yang dihasilkan harus terlebih dahulu dinikmati masyarakat lokal. Jika listrik untuk industri besar lebih lancar daripada untuk desa sekitar PLTP, maka proyek kehilangan legitimasi moral.
Lebih jauh, Gubernur bisa memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diversifikasi energi yang sesuai karakteristik daerah.
Dengan sinar matahari melimpah sepanjang tahun dan angin kencang di Sumba dan Lembata, NTT sebenarnya laboratorium alam energi surya dan angin.
Energi jenis ini lebih minim konflik sosial-ekologis sekaligus memberi ruang partisipasi komunitas lokal melalui skema energi terdesentralisasi.
Akhirnya, polemik geothermal di NTT mengingatkan bahwa pembangunan sejati bukan sekadar mengejar pertumbuhan atau transisi energi, tetapi juga mendengar dan menghargai suara masyarakat.
Gereja, komunitas adat, dan LSM bukanlah musuh pembangunan, melainkan pengingat bahwa bumi bukan sekadar komoditas.
Energi boleh terbarukan, tetapi martabat manusia dan kelestarian alam harus tetap abadi.
Jika Gubernur mampu berdiri sebagai penjaga nurani, bukan sekadar operator proyek, NTT tidak hanya akan dikenal karena potensi panas buminya, tetapi juga karena kebijaksanaan pemimpinnya menjaga rumah bersama.
https://regional.kompas.com/read/2025/09/07/09000031/mendengar-suara-dari-bumi-cendana--polemik-geothermal-di-ntt