Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

Sampah Karbon Raksasa, Mungkinkah Dihapus?

Kompas.com - 28/05/2025, 15:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ALIH-alih emisi, saya ingin menggunakan kata sampah dan "nyampah" untuk setiap tindakan atau aktivitas manusia di level individu, komunitas, masyarakat, korporasi dan negara yang menyebabkan tertumpuknya gas rumah kaca (GRK)--CO2, N2O hingga CH4--di atmosfer.

Sampah (kata benda) dan "nyampah" (kata kerja) di sini tak selalu bergerak di daratan, tapi bergerak dari bumi (bawah) ke atmosfer (atas) yang mengatasi gaya gravitasi.

Pada titik tertentu GRK menyelamatkan bumi dari suhu yang kelewat dingin (sekian derajat di bawah nol), tapi karena akumulasi yang kelewat masif, gas-gas tadi telah menjadi "racun" yang bikin temperatur planet ini makin panas.

Sepanjang 2024, hutan hujan primer seluas 6,7 juta hektare di wilayah tropis, hilang, karena ulah manusia.

Hutan seluas Panama yang sedianya berguna untuk menyimpan karbondioksida (CO2), tandas sehingga bikin akumulasi GRK di atmosfer naik tajam. Satu hektare hutan dapat menyimpan paling kurang 50 ton CO2 sepanjang siklus hidupnya.

Jadi, bukan kebetulan jika emisi CO2, atau sebut saja "sampah karbon" pada 2024 melesat satu miliar ton menjadi 41,6 miliar ton (Global Carbon Budget).

Baca juga: Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Oh iya, akumulasi GRK di atmosfer dihitung dengan satuan ton CO2 ekuivalen. Artinya gas-gas lain seperti N2O dan CH4 dikonversi dalam ton CO2.

Jika masih kurang yakin betapa ulah manusia menyebabkan penumpukan "sampah karbon raksasa" di atmosfer, mari cermati data Badan Energi Internasional (IEA).

Ini menjelaskan kalau manusia "nyampah karbon" alias memuntahkan GRK secara sadar atau tidak sadar dalam kegiatan mereka sehari-hari.

Tahun 2024 lalu, gas CO2 yang ditumpahkan sektor energi menembus 37,8 Gt atau 37,8 miliar ton. Konsentrasi CO2 di atmosfer pun meroket jadi 422,5 ppm atau 50 persen lebih tinggi dari tingkat pra-revolusi industri.

Semua ini secara kait-mengait menyebabkan suhu bumi rata-rata melonjak di atas 1,5 derajat Celcius, alias lebih tinggi dari batas toleransi yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015. Krisis iklim kian menjadi-jadi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut kerusakan lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, gangguan ekonomi hingga konflik dan teror telah mengancam manusia akibat suhu bumi yang kian terpanggang.

Di lamannya, PBB menulis: Tidak ada benua yang tidak tersentuh gelombang panas, kekeringan, topan hingga badai yang menyebabkan kerusakan massal di seluruh dunia.

Baca juga: 10 Tahun Perjanjian Paris dan Katak dalam Panci Panas

Masih kata PBB, kini 90 persen bencana terkait dengan cuaca dan iklim yang mengakibatkan kerugian ekonomi kolosal: 520 miliar dolar AS setahun. Itu separuh produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat menjadi anggota negara "1 triliun dolar AS" sekian tahun silam.

Daya rusaknya ke mana-mana karena menyebabkan 26 juta jiwa penduduk bumi jatuh miskin.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Ambil Untung Tanpa Merugikan, Cara Masyarakat Adat Raja Ampat Hidup Tanpa Tambang
Ambil Untung Tanpa Merugikan, Cara Masyarakat Adat Raja Ampat Hidup Tanpa Tambang
LSM/Figur
Agar AI Tak Lagi Bias, UN Women Serukan Teknologi yang Ramah Gender
Agar AI Tak Lagi Bias, UN Women Serukan Teknologi yang Ramah Gender
LSM/Figur
ASEAN Butuh 100 Miliar Dollar AS untuk Transmisi Energi Terbarukan
ASEAN Butuh 100 Miliar Dollar AS untuk Transmisi Energi Terbarukan
Pemerintah
Terurai dalam Sejam, Inovasi Plastik dari Jepang Bawa Harapan di Tengah Kebuntuan
Terurai dalam Sejam, Inovasi Plastik dari Jepang Bawa Harapan di Tengah Kebuntuan
LSM/Figur
BRIN-PT GIGATECH Luncurkan Inovasi Motor Tempel Listrik
BRIN-PT GIGATECH Luncurkan Inovasi Motor Tempel Listrik
Pemerintah
Demi AI, Meta Kontrak Pakai Nuklir dari Pembangkit yang Nyaris Tutup
Demi AI, Meta Kontrak Pakai Nuklir dari Pembangkit yang Nyaris Tutup
Swasta
Laut Kita Kian Menggelap, Keseimbangan Ekosistemnya Terganggu
Laut Kita Kian Menggelap, Keseimbangan Ekosistemnya Terganggu
LSM/Figur
Kemenaker Dorong Green Skills lewat Employment of the Future
Kemenaker Dorong Green Skills lewat Employment of the Future
Pemerintah
Selamatkan Raja Ampat, Penghentian Tambang Sementara Tak Cukup
Selamatkan Raja Ampat, Penghentian Tambang Sementara Tak Cukup
Swasta
Raja Ampat, Jejak Kerusakan Hutan, dan Harapannya
Raja Ampat, Jejak Kerusakan Hutan, dan Harapannya
LSM/Figur
Studi: Polusi Suara Manusia Ancam Kesejahteraan Fauna di Antartika
Studi: Polusi Suara Manusia Ancam Kesejahteraan Fauna di Antartika
LSM/Figur
Investasi Energi Dunia Melonjak ke Rekor 3,3 Triliun Dollar AS pada 2025
Investasi Energi Dunia Melonjak ke Rekor 3,3 Triliun Dollar AS pada 2025
Swasta
Laporan PBB: Kembangkan AI, Raksasa Teknologi Picu Lonjakan Emisi 150 Persen
Laporan PBB: Kembangkan AI, Raksasa Teknologi Picu Lonjakan Emisi 150 Persen
Swasta
Eropa Batasi Penangkapan Ikan Berlebihan dari Negara Dunia Ketiga
Eropa Batasi Penangkapan Ikan Berlebihan dari Negara Dunia Ketiga
Pemerintah
Masih Ada yang Bandel, Menteri LH Desak Semua Produsen Patuhi Larangan AMDK di Bawah 1 Liter di Bali
Masih Ada yang Bandel, Menteri LH Desak Semua Produsen Patuhi Larangan AMDK di Bawah 1 Liter di Bali
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau