KOMPAS.com - Perang dagang yang tidak menentu dan target lingkungan menjadi dua hal utama yang akan dibahas oleh para pemimpin maskapai penerbangan global dalam pertemuan tahunan yang berlangsung di India 1-3 Juni 2025.
Prospek masa depan industri ini terlihat suram karena kekhawatiran bahwa ketidakpastian politik global akan mengurangi minat orang untuk bepergian dan pada saat yang sama, meningkatkan biaya operasional bagi maskapai.
Melansir Reuters, Jumat (30/5/2025), lebih banyak orang bepergian dengan pesawat setelah pemulihan pasar penumpang pasca pandemi sepenuhnya, tetapi maskapai penerbangan secara global menghadapi tantangan serius yang menggerogoti profitabilitas mereka.
Tantangan-tantangan ini meliputi tekanan kenaikan biaya operasional, keterlambatan dalam pengiriman pesawat baru, masalah rantai pasokan yang terus-menerus serta penurunan harga tiket pesawat.
Selain itu perang dagang yang dilancarkan oleh Presiden Donald Trump telah secara drastis mengubah kondisi industri dirgantara global.
Baca juga: Unhas dan University of Hawai’i Bahas Kemiri Jadi Bahan Bakar Pesawat
Industri yang selama puluhan tahun menikmati perdagangan bebas tarif, kini harus menghadapi pengenaan pajak impor yang baru.
Hal ini menciptakan tingkat ketidakpastian dan risiko baru yang signifikan bagi seluruh sektor, mulai dari produsen pesawat hingga maskapai penerbangan, karena biaya operasional dan perencanaan bisnis menjadi lebih sulit diprediksi.
Meskipun maskapai penerbangan di Eropa dan Asia menikmati permintaan perjalanan udara yang kuat, sektor maskapai penerbangan di Amerika Serikat justru menghadapi masalah penurunan permintaan penumpang baru-baru ini.
Kondisi ini menyulitkan maskapai-maskapai AS untuk secara akurat memperkirakan tren perilaku penumpang di masa depan dan memproyeksikan biaya operasional mereka, sehingga menambah ketidakpastian dan tantangan dalam perencanaan bisnis.
Selain membahas perang dagang, maskapai global akan membicarakan mengenai keraguan pencapaian target nol bersih industri ini.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperingatkan bahwa maskapai penerbangan kemungkinan besar tidak akan mencapai target keberlanjutan mereka.
Kekhawatiran utama adalah masalah pendanaan untuk transisi menuju penggunaan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF) dan pengembangan teknologi baru.
Baca juga: Studi: Hanya 10 dari 77 Maskapai yang Mendorong Penerapan SAF
Meskipun maskapai telah menyepakati pada tahun 2021 untuk mencapai target nol emisi bersih pada tahun 2050 , maskapai menghadapi tantangan utama yakni biaya pemakaian SAF.
SAF, yang terbuat dari limbah minyak dan biomassa, saat ini jauh lebih mahal daripada bahan bakar jet konvensional, sehingga menyulitkan implementasinya secara luas.
Direktur Jenderal IATA Willie Walsh pun mengatakan industri perlu mengevaluasi kembali komitmen tersebut.
"Maskapai penerbangan diharapkan menanggung biaya bahan bakar yang lebih mahal dan tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dari produsen SAF," kata Walsh.
IATA juga menyebut produksi SAF lambat. IATA melaporkan bahwa produksi SAF di seluruh dunia pada tahun 2024 hanya mencapai 1 juta metrik ton. Angka ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 1,5 juta metrik ton.
"Permintaan SAF terus melampaui pasokan, dan biayanya tetap sangat tinggi. Kerangka regulasi untuk mendorong produksi SAF masih belum berkembang, tidak konsisten, atau tidak memadai," kata Subhas Menon, direktur jenderal Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik.
Baca juga: Industri Sumbang 34 Persen Emisi, CSP Dorong Dekarbonisasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya