Pengalaman ini menegaskan pentingnya pendekatan transisi yang terukur, bertahap, dan didukung infrastruktur yang robust.
Melihat RUPTL dari kacamata pragmatisme, dokumen ini adalah peta jalan transisi—bukan titik akhir—yang menunjukkan arah menuju energi lebih bersih sambil menjaga stabilitas dan keterjangkauan.
PLN memiliki tanggung jawab memastikan pasokan listrik tidak terputus, terjangkau, dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Target peningkatan porsi EBT hingga lebih dari 50 persen pada 2040 dengan penambahan kapasitas sekitar 40 GW merupakan langkah maju signifikan.
Komitmen tidak membangun PLTU batu bara baru, kecuali yang sudah dalam konstruksi atau komitmen finansial (tinggal menunggu selesai dibangun), menunjukkan itikad baik dekarbonisasi yang bertanggung jawab.
Baca juga: Optimisme dari Luka: Paradoks Harapan dan Kecemasan Rakyat Indonesia
Rencana penambahan PLTG sebesar 10,3 GW, meski menggunakan gas alam, merupakan langkah strategis sebagai teknologi peralihan (bridge technology) yang dapat memberikan fleksibilitas operasional tinggi untuk mengimbangi intermittency EBT.
PLTG dapat dinyalakan dan dimatikan dengan cepat, menjadikannya ideal sebagai backup untuk pembangkit terbarukan.
Alih-alih terjebak dalam ilusi nirvana yang menuntut kesempurnaan instan, sebaiknya kita fokus memastikan implementasi RUPTL berjalan efektif dengan prioritas utama yang mencakup beberapa aspek krusial.
Pertama, mempercepat pengembangan teknologi penyimpanan energi melalui kemitraan strategis dengan industri teknologi global dan mendorong riset dalam negeri untuk solusi penyimpanan yang paling efisien.
Kedua, menarik investasi EBT lebih masif melalui kebijakan insentif yang menarik dan kemudahan perizinan terintegrasi.
Ketiga, mengembangkan kerangka regulasi yang mendukung transisi adil dan inklusif, termasuk program reskilling untuk pekerja sektor fosil dan pengembangan ekonomi hijau di daerah-daerah yang terdampak transisi.
Keempat, menerapkan strategi mengurangi emisi pembangkit fosil eksisting melalui teknologi penangkapan karbon atau pemanfaatan biomassa sebagai co-firing.
Diperlukan juga percepatan pembangunan infrastruktur transmisi yang dapat mengakomodasi karakteristik EBT yang tersebar geografis, serta pengembangan smart grid yang mampu mengelola fluktuasi pasokan dari sumber terbarukan dengan sistem prediksi cuaca dan demand response yang canggih.
Transisi energi adalah maraton, bukan sprint. Mewujudkan sistem kelistrikan yang lebih bersih bukan sekadar mencoret pembangkit fosil dari perencanaan.
Proses ini membutuhkan pendekatan menyeluruh, mulai dari pembangunan infrastruktur, regulasi yang mendukung, insentif investasi, hingga strategi mitigasi dampak sosial agar transisi berjalan lancar tanpa mengorbankan ketahanan energi nasional.
Dalam konteks ini, RUPTL PLN 2025-2035 dapat dilihat sebagai langkah realistis menuju transformasi energi yang lebih berkelanjutan.
Kritik terhadap dokumen ini tentu penting sebagai bagian dari kontrol publik. Namun, perlu diimbangi dengan pemahaman mendalam terkait tantangan teknis, ekonomi, dan sosial yang menyertai transisi energi.
Alih-alih menuntut perubahan instan, yang lebih krusial adalah memastikan bahwa roadmap ini benar-benar diterapkan secara efektif, mampu beradaptasi dengan dinamika yang berkembang, dan tetap mengarah pada tujuan utama: sistem energi nasional yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Mari kita dukung upaya Pemerintah dan PLN mewujudkan sistem kelistrikan yang lebih bersih dan berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas sistem, keterjangkauan tarif, dan keberlanjutan lingkungan secara seimbang (DFS).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya