Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
David Firnando Silalahi
ASN Kementerian ESDM

Pelayan rakyat (ASN) di Kementerian ESDM, Kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"

RUPTL PLN dan Pragmatisme Transisi Energi

Kompas.com - 31/05/2025, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lebih dari itu, penerimaan batu bara merupakan kontributor terbesar bagi PNBP Minerba, mencapai Rp 143 triliun pada 2024.

Hal ini menuntut kehati-hatian dalam proses phasing out yang harus bertahap dan terencana dengan mempertimbangkan dampak ekonomi nasional yang meluas hingga ke daerah-daerah penghasil batu bara dan ribuan pekerja yang bergantung pada sektor ini.

Sumber energi terbarukan umumnya berlokasi jauh dari pemukiman dan pusat industri. Potensi energi matahari sangat baik di Nusa Tenggara, tapi kebutuhan listrik besar ada di Jawa—sehingga diperlukan pembangunan jaringan transmisi yang menghubungkan pembangkit dengan konsumen. Dibutuhkan dana besar dan waktu yang panjang dalam pembangunannya.

Transisi energi membutuhkan investasi besar untuk pembangkit EBT, jaringan transmisi adaptif, dan teknologi penyimpanan.

Baca juga: Sampah Karbon Raksasa, Mungkinkah Dihapus?

Meskipun Indonesia telah mendapatkan komitmen pendanaan melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dollar AS, realisasi nyata dari program ini masih perlu diwujudkan dalam bentuk proyek-proyek konkret.

Pemerintah dan PLN perlu realistis menyeimbangkan target bauran EBT dengan kemampuan finansial negara serta ketersediaan pendanaan internasional yang dapat diakses.

Memaksakan target 100T tanpa pertimbangan kapasitas investasi berpotensi membebani keuangan negara dan menaikkan tarif listrik masyarakat.

Aspek keamanan energi

Dalam konteks geopolitik global yang semakin tidak menentu, keamanan energi menjadi prioritas strategis nasional.

Mengandalkan sepenuhnya pada EBT yang belum matang dari sisi stabilitas teknologi dapat meningkatkan kerentanan pasokan energi nasional jika terjadi gangguan pada rantai pasok teknologi atau komponen vital. Apalagi belum sepenuhnya teknologi EBT dibuat di dalam negeri.

Selain itu, modernisasi jaringan listrik untuk mengakomodasi karakteristik pembangkit energi terbarukan yang intermiten memerlukan investasi infrastruktur yang tidak sedikit dan waktu implementasi yang realistis.

Harus diakui bahwa untuk saat ini pembangkit energi fosil, yang sudah kita kuasai teknologinya, meski berdampak lingkungan, masih menjadi tulang punggung yang memberikan stabilitas dan prediktabilitas pasokan.

Pengalaman negara-negara yang telah mengambil langkah agresif menuju EBT memberikan pelajaran berharga.

Jerman, meski memiliki teknologi dan kapasitas finansial superior, mengalami lonjakan harga energi dan ketergantungan impor gas ketika memaksakan transisi energi terlalu cepat tanpa persiapan infrastruktur memadai.

Texas, Amerika Serikat, mengalami blackout massal pada Februari 2021, akibat ketidakmampuan infrastruktur EBT menghadapi cuaca ekstrem, menyebabkan jutaan warga kehilangan listrik selama berhari-hari.

Sebaliknya, Denmark berhasil mencapai lebih dari 50T melalui pendekatan bertahap selama puluhan tahun dengan investasi konsisten pada infrastruktur jaringan pintar dan sistem penyimpanan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau