JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adis Nur Hayati, mengungkapkan ada beberapa tantangan dalam melakukan relokasi terhadap masyarakat yang terdampak bencana iklim, khususnya kenaikan permukaan air laut.
Hal ini disampaikannya dalam acara diseminasi hasil penelitian bertajuk “Forced Labor and Climate Change: Focus on Women and Children” yang diadakan secara daring pada Selasa (3/6/2025).
Saat ini, Demak menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang menghadapi persoalan banjir rob akibat kenaikan permukaan laut dan penurunan muka tanah.
Menurut Adis, masalah ini sudah terjadi sejak tahun 1980. Ia mengingatkan bahwa jika tidak ditanggulangi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, wilayah tersebut terancam tenggelam.
Pemerintah daerah telah menyelenggarakan sejumlah program relokasi. Namun, Adis menilai bahwa masih terdapat persoalan penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.
“Masih terdapat tantangan atau persoalan penting yang perlu diperhatikan dalam proses relokasi di Demak,” ujarnya.
Salah satu tantangan utamanya adalah ketidakjelasan status tanah di lokasi relokasi. Adis menjelaskan bahwa masyarakat yang direlokasi tidak memiliki sertifikat hak milik karena mereka dipindahkan ke kawasan sempadan pantai.
“Saat ini mereka hanya memiliki surat izin pakai, yang sebenarnya juga sudah kadaluarsa dan tidak bisa diperpanjang,” jelas Adis.
Baca juga: Burung Kesulitan Beradaptasi dengan Iklim yang Memanas
Selain status hukum lahan, Adis juga menyoroti kondisi infrastruktur rumah yang belum memadai. Berdasarkan penelitiannya bersama tim, masyarakat menyampaikan bahwa mereka hanya diberikan rumah semi-permanen yang rawan pencurian.
Di sisi lain, relokasi juga berdampak pada mata pencaharian warga. Mereka terpaksa mengganti pekerjaan, namun tidak dibekali keterampilan yang memadai untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
“Jika masalah-masalah ini tidak segera ditanggulangi, dikhawatirkan adanya potensi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat yang terpaksa berpindah tersebut,” katanya.
Pelanggaran tersebut mencakup hak atas kepastian hukum, hak atas perumahan yang layak, dan hak atas kehidupan yang layak. Sebagai contoh, Adis menjelaskan bahwa tanpa kejelasan hukum terkait tanah yang ditempati, masyarakat berisiko kembali digusur sewaktu-waktu.
Adapun, temuan lebih lanjut datang dari studi di Dukuh Rejo Sari dan Dukuh Modoliko, Demak.
Di sana, masyarakat direlokasi ke pinggiran sungai di Desa Gemulak karena ketiadaan lahan pemukiman baru. Padahal wilayah tersebut juga masih rawan terdampak bencana terutama saat hujan turun.
“Karena ketiadaan lahan relokasi ini, masyarakat Dukuh Rejo Sari jadi direlokasi ke wilayah pinggiran sungai di Desa Gemulak, yang mana daerah itu juga masih rawan untuk terkena bencana,” ungkapnya.
Atas situasi ini, Adis menilai penting bagi pemerintah untuk segera membentuk regulasi atau pedoman yang lebih komprehensif dan spesifik dalam mengakomodasi mobilitas masyarakat yang terdampak perubahan iklim agar tidak terjadi pelanggaran hak-hak masyarakat terdampak.
Baca juga: Rob, Iklim, dan Pantura: Mengapa Warga Tetap Tinggal Meski Terendam?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya