JAKARTA, KOMPAS.com — Meski rumah tergenang air laut hingga tiga meter setiap hari, banyak warga pesisir di Demak, Jakarta, dan Pekalongan memilih untuk tetap tinggal.
Fenomena ini dikenal sebagai immobility, atau ketidaksediaan masyarakat berpindah tempat walau terdampak bencana iklim. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Inayah Hidayati, menyebut keputusan ini tidak bisa dipahami hanya dari logika ancaman lingkungan, tapi juga dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam acara diseminasi hasil penelitian bertajuk “Forced Labor and Climate Change: Focus on Women and Children”, Selasa (3/6/2025), Inayah menegaskan bahwa langkah paling aman dalam menghadapi kenaikan permukaan air laut adalah bermigrasi ke wilayah yang lebih tinggi dan tidak tergenang.
“Karena pasti akan sangat tidak nyaman tinggal di rumah yang tergenang air setinggi 1–3 meter setiap hari,” ujarnya.
Namun, hasil penelitiannya menunjukkan banyak warga justru memilih bertahan. Pilihan ini paling banyak ditemui di kawasan pesisir utara Jawa, termasuk Jakarta, Demak, dan Pekalongan.
Alasan utamanya, menurut Inayah, adalah faktor ekonomi. Banyak warga mengaku tidak memiliki cukup biaya dan sumber daya untuk pindah ke tempat baru.
Di Jakarta, misalnya, warga tetap tinggal karena menilai masih mudah mendapatkan pekerjaan, meskipun lingkungan tempat tinggal mereka terendam.
Di Semarang, lokasi yang dekat dengan sumber pencarian seperti ikan dan kerang menjadi alasan utama bertahan. Hal serupa terjadi di Demak dan Pekalongan, di mana para nelayan khawatir kehilangan akses ke laut jika harus berpindah.
“Selain soal pekerjaan, keterikatan sosial juga jadi faktor penting,” ujar Inayah.
Banyak warga mengaku sudah nyaman dengan lingkungan mereka saat ini, termasuk kedekatan dengan tetangga. Hubungan sosial yang kuat ini membuat mereka lebih siap beradaptasi terhadap banjir rob yang terjadi.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Separuh Dunia Rasakan Panas Ekstrem Sebulan
Aspek budaya pun tak bisa diabaikan. Di beberapa kasus, warga memilih bertahan karena keterikatan terhadap leluhur mereka.
“Di Demak dan Pekalongan, ada orang-orang yang tidak ingin meninggalkan tempat tinggalnya karena nilai-nilai budaya dan warisan leluhur,” kata Inayah. Meski harus menggunakan perahu untuk beraktivitas karena jalan-jalan terendam, mereka tetap memilih tinggal.
Program bantuan dari pemerintah juga turut memengaruhi keputusan tersebut. Di Jakarta, misalnya, banyak program politik menyasar komunitas pesisir sehingga masyarakat merasa terbantu untuk bertahan di tempat mereka sekarang.
“Masih banyak faktor emosional atau pribadi yang membuat seseorang memilih tinggal atau pindah,” kata Inayah.
Karena itu, ia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung masyarakat yang memilih untuk tetap tinggal agar dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada.
Sejauh ini, pemerintah telah membangun sejumlah infrastruktur untuk merespons banjir rob, seperti tanggul besar di Jakarta, tanggul semi permanen di Bedono, Semarang, hingga sistem drainase di berbagai lokasi. Namun, menurut Inayah, pendekatan ini masih bersifat jangka pendek.
Ke depan, ia berharap pemerintah melakukan evaluasi yang menyeluruh untuk mengambil tindakan yang dapat membantu masyarakat yang terdampak perubahan iklim secara berkelanjutan.
“Rencana adaptasi ke depan harus bisa mengintegrasikan pengetahuan lokal atau nilai-nilai lokal agar lebih bermanfaat bagi masyarakat yang memilih untuk tidak berpindah,” ujarnya.
Baca juga: Hutan Mangrove Lebih Kuat dari Dugaan, Tahan Badai akibat Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya