Oleh Professor Dr. Nuarrual Hilal Md Dahlan*
KOMPAS.com - Asia Tenggara kini sedang mengalami revolusi digital. Dengan pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), e-commerce, dan komputasi awan, kawasan ini kini menjadi rumah bagi sejumlah proyek pembangunan pusat data paling ambisius di dunia.
Sayangnya, perkembangan ekonomi digital ini tidak diikuti dengan kerangka hukum yang kuat. Regulasi di ASEAN masih tertinggal di era pra-digital.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: bisakah ASEAN benar-benar membangun industri pusat data yang berkelanjutan?
Melihat Malaysia: Antara ambisi digital dan regulasi yang usang
Malaysia menjadi contoh nyata dalam kasus ini. Pada 2024 lalu, negara ini berhasil mengamankan investasi lebih dari 23,3 miliar dollar AS untuk pembangunan pusat data dari raksasa teknologi seperti Microsoft, Google, dan Amazon Web Services.
Investasi ini menjadi fondasi utama bagi pusat data modern yang digadang-gadang sebagai mesin penggerak ekonomi digital negara. Langkah ini sekaligus menegaskan posisi Malaysia sebagai tech hub atau pusat teknologi utama di Asia Tenggara.
Namun sayangnya, di balik kemajuan infrastruktur yang canggih, sistem hukumnya masih tertinggal jauh.
Baca juga: Dow-Google Kembangkan Teknologi AI untuk Daur Ulang Plastik Lunak
Berikut persoalannya:
Hal yang lebih memprihatinkan, panduan tersebut belum mampu mengatasi struktur pemerintahan ganda di Malaysia, di mana wewenang federal dan negara bagian sering berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menyebabkan ketidakpastian bagi investor, hambatan birokrasi bagi regulator dan pengembang, serta biaya ekstra.
Bagi masyarakat, hal ini merperlambat pembangunan infrastruktur digital, yang berdampak pada kecepatan internet, akses terhadap layanan, serta peluang kerja di industri teknologi.
Baca juga: Bagaimana AI Membantu Industri Mode Kurangi Limbah Tekstil?
Masalah serupa di negara-negara ASEAN lain
Tapi Malaysia tidak sendiri. Negara-negara ASEAN lain seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina juga menghadapi permasalahan serupa: hukum yang ketinggalan zaman, regulasi lingkungan yang lemah, dan tata kelola yang terfragmentasi.
Hal ini menjadi perhatian serius dalam ASEAN Digital Masterplan 2025, yang menegaskan bahwa tanpa reformasi hukum dan regulasi, ASEAN bisa tertinggal dalam persaingan digital global.
ASEAN Economic Community Blueprint 2025 sudah menyerukan harmonisasi, transparansi, dan pembentukan regulasi yang kuat untuk menarik investasi infrastruktur. Sayangnya, prosesnya berjalan sangat lambat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya