JAKARTA, KOMPAS.com - Holding BUMN Industri Pertambangan, MIND ID, menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 21,4 persen pada 2030.
Target ini ditetapkan lantaran konsumsi energi Grup MIND ID diperkirakan melonjak dari 48.000 terajoule (TJ) pada 2023 menjadi 266.000 TJ di 2030.
Direktur Strategic Support & Human Capital PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Benny Alexander Wiwoho, menyampaikan bahwa lonjakan tersebut berpotensi menyebabkan emisi GRK meningkat drastis, dari 4.100 kiloton CO2 ekuivalen (ktCO?e) menjadi 31.060 ktCO2e. Angkanya meningkat lebih dari tujuh kali lipat dalam tujuh tahun.
“Ini adalah tantangan yang harus dikelola secara strategis. Target 21,4 persen ini merupakan peta jalan kami dalam memastikan bahwa pertumbuhan industri tetap sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan,” kata Benny dalam keterangannya, Rabu (4/6/2025).
Baca juga: AS Bakal Hapus Batas Emisi Pembangkit, Klaim Dampaknya Tak Signifikan
Menurut dia, target itu tidak hanya sebagai respons terhadap lonjakan emisi, tetapi juga sebagai bentuk kontribusi terhadap pencapaian Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) serta langkah menuju Net Zero Emission pada 2060.
Terlebih, ekspansi industri melalui hilirisasi secara langsung berdampak pada lonjakan kebutuhan energi yang secara paralel mendorong naiknya emisi GRK.
“Isu dekarbonisasi bukan hanya tantangan MIND ID, tetapi tantangan global yang dihadapi oleh seluruh pelaku industri pertambangan dan manufaktur. Ketergantungan pada energi fosil masih tinggi, sementara transisi ke energi bersih membutuhkan kesiapan sistemik,” tutur Benny.
Baca juga: Industri Sumbang 34 Persen Emisi, CSP Dorong Dekarbonisasi
Sementara itu, Corporate Secretary MIND ID, Pria Utama, mengungkapkan perusahaan telah merumuskan empat strategi utama untuk mencapai target dekarbonisasi. Pertama, mengonversi bahan bakar ke sumber rendah karbon berupa B35, B40, dan LNG untuk menggantikan bahan bakar fosil.
Lainnya, meningkatkan efisiensi operasional melalui inovasi proses penambangan, peleburan, serta digitalisasi dan elektrifikasi di seluruh lini produksi.
Ketiga, penggunaan energi terbarukan dan co-firing, termasuk pemasangan panel surya, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), hingga teknologi co-firing pada fasilitas pembangkit dan peleburan.
Terakhir, pemanfaatan Renewable Energy Certificate (REC) dan carbon offset melalui partisipasi dalam perdagangan karbon dan pengembangan proyek berbasis alam.
Baca juga: Wujudkan Dekarbonisasi Industri, Teknologi Jadi Salah Satu Kunci
“Kami meyakini bahwa kemajuan industri harus disertai dengan tanggung jawab yang semakin besar terhadap lingkungan. Masa depan pertambangan bukan hanya soal menghasilkan lebih banyak, tetapi bagaimana kita menghasilkan dengan cara yang lebih bijak,” jelas Pria.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya