KOMPAS.com - Data Zero Carbon Analytics menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, China telah menjadi penyedia investasi publik terbesar untuk proyek-proyek energi bersih di Asia Tenggara, dengan total dana yang disalurkan melebihi 2,7 miliar dolar AS.
Selama periode 2013 hingga 2023, sebagian besar dana investasi publik China untuk energi bersih di Asia Tenggara dialokasikan untuk proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air dan tenaga angin.
Indonesia menjadi negara penerima terbesar dari investasi-investasi tersebut di antara semua negara di Asia Tenggara.
Namun, mengutip Eco Business, Kamis (5/6/2025), meski Asia Tenggara menerima banyak investasi hijau, transisi penuh menuju energi terbarukan bisa terhambat.
Ini karena ketidakpastian yang disebabkan oleh rencana tarif yang dipimpin AS dapat memaksa negara-negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, untuk kembali lebih mengandalkan industri ekstraktif seperti pertambangan batu bara dan mineral, sebagai cara untuk menstabilkan ekonomi mereka di tengah kesulitan penyesuaian terhadap kebijakan perdagangan baru.
Baca juga: Ekonomi Hijau: Upaya Indonesia Keluar dari Middle Trap Income
Analis keberlanjutan pun memperingatkan bahwa hal ini bisa memperlambat upaya dekarbonisasi mereka, terutama Indonesia.
Sharon Seah, peneliti senior dan koordinator Pusat Studi ASEAN dan Program Perubahan Iklim di Asia Tenggara di ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan bahwa Indonesia memiliki dorongan yang sangat besar untuk mencapai visinya sebagai negara maju pada tahun 2045, dan untuk mencapai itu, Indonesia menargetkan pertumbuhan PDB sebesar 8 persen setiap tahun.
Tapi jika negara-negara besar seperti AS memberlakukan tarif dan tindakan protektif lainnya yang menghambat sektor energi bersih, maka pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia akan sangat terhambat.
"Akibatnya, alih-alih berusaha keras untuk beralih ke ekonomi hijau, akan lebih mudah dan mungkin terasa lebih pragmatis bagi mereka untuk kembali mengandalkan model ekonomi lama yang berbasis pada industri ekstraktif dan padat karbon, demi menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi mereka," kata Seah.
Sebagai informasi, gencatan senjata tarif selama 90 hari disetujui oleh AS dan China pada bulan Mei. Namun, tarif dasar 10 persen akan tetap berlaku.
Baca juga: Investasi Energi Bersih ASEAN, Jepang dan Korsel Goyang Dominasi China
Seah juga berpendapat bahwa meskipun ada tantangan dan ketidakpastian di tingkat global, pertumbuhan hijau China berfungsi sebagai contoh yang sangat baik dan positif bagi negara-negara tetangganya di Asia.
China telah menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau tidak harus terhambat oleh perkembangan global, karena China sendiri bertekad untuk terus maju dengan transisi iklim di dalam negerinya.
Lebih lanjut, Jepang dan Korea Selatan juga merupakan investor publik penting dalam energi bersih di Asia Tenggara.
Jepang menduduki peringkat kedua sebagai penyedia dana publik terbesar untuk proyek-proyek energi bersih di Asia Tenggara dengan menginvestasikan total sekitar 2,45 miliar dolar AS dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Investasi Jepang sebagian besar difokuskan pada dua jenis teknologi energi bersih yakni panas bumi dan pembangkit listrik tenaga surya.
Negara-negara penerima utama investasi Jepang ini adalah Indonesia dan Vietnam.
Sedangkan Korea Selatan adalah investor publik ketiga terbesar setelah China dan Jepang dengan total investasi 583 juta dolar AS selama periode yang sama.
Investasi Korea Selatan sebagian besar juga diarahkan ke Indonesia dan Filipina.
Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Energi Angin, Potensinya Bisa Berkurang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya