KOMPAS.com - Di tengah upaya dunia beralih ke energi bersih, perubahan iklim justru mengancam potensi sumber daya alam yang diandalkan—termasuk energi angin.
Meskipun beberapa tempat mungkin menjadi sedikit lebih berangin di permukaan tanah, angin pada ketinggian penting untuk menggerakkan turbin bisa melemah, terutama di wilayah-wilayah strategis.
Hal ini berdampak besar pada rencana pembangunan atau perluasan proyek energi angin. Salah satu contohnya terjadi di Timur Tengah.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pola cuaca di kawasan itu berubah akibat pemanasan global. Pergeseran tersebut bisa mengurangi kekuatan angin—bahkan dengan cara yang tak terduga—dan melemahkan kapasitas kawasan ini untuk menghasilkan listrik dari turbin angin.
Temuan ini berasal dari studi yang dipimpin Melissa Latt dari Institut Teknologi Karlsruhe dan Assaf Hochman dari Universitas Ibrani Yerusalem.
"Potensi energi angin adalah bagian yang sangat penting untuk mencapai masa depan berkelanjutan di wilayah tersebut, dan memahami bagaimana perubahan iklim memengaruhi atau mengubah pola angin adalah kunci utama untuk membuat keputusan investasi yang cerdas dan bertahan dalam jangka panjang," ungkap Hochman.
Baca juga: Inggris Galau, Haruskah Libatkan China dalam Proyek Energi Angin Raksasa?
Dalam studi yang dipublikasikan di Climatic Change dan dilansir Earth, Sabtu (31/5/2025), para ilmuwan menggunakan model iklim regional dengan resolusi tinggi untuk melihat lebih detail pola angin musim panas di gurun, garis pantai, dan pegunungan.
Mereka membandingkan data iklim masa lalu dengan proyeksi hingga 2070, dan menemukan bahwa kontras suhu permukaan laut yang berubah bisa meningkatkan angin di dekat permukaan tanah. Tapi angin di ketinggian turbin—sekitar 490 kaki—justru diperkirakan melemah di sebagian besar wilayah. Bahkan, kecepatannya bisa turun hingga 2,2 mil per jam.
Kondisi ini bisa membuat kawasan kehilangan sekitar 6,64 juta Btu energi angin hanya dalam waktu enam jam—jumlah yang cukup signifikan bagi sistem energi.
Padahal banyak proyek energi angin selama ini dibangun di daratan. Maka, perubahan pola angin ini menimbulkan pertanyaan besar: di mana lagi lokasi ideal dan hemat biaya untuk menempatkan turbin dalam beberapa dekade ke depan?
Beberapa area pesisir, seperti di sekitar Laut Merah, masih menyimpan potensi angin yang kuat. Namun, wilayah-wilayah di pedalaman kemungkinan besar akan kesulitan mempertahankan tingkat produksi yang sama seperti dulu. Ini berarti negara-negara yang ingin mengembangkan energi angin, seperti di Timur Tengah, harus bersiap dengan strategi baru.
Peneliti menyarankan pemetaan angin permukaan yang lebih akurat dan mempertimbangkan pembangunan ladang angin lepas pantai.
Turbin lepas pantai memang lebih kompleks untuk dipasang, tetapi menawarkan angin yang lebih stabil—solusi yang menjanjikan untuk menggantikan koridor angin daratan yang melemah.
Alternatif lainnya adalah menggabungkan proyek angin dan surya. Ketika angin lemah, terutama di jam-jam krusial, energi matahari bisa mengisi kekosongan.
Saat siang hari sangat panas dan turbin angin bekerja kurang optimal, panel surya justru mencapai puncak produksi. Ini sangat ideal di wilayah yang cerah dan masih mengembangkan infrastruktur listriknya.
Ke depan, perencanaan energi angin harus mempertimbangkan lokasi yang bisa menjaga kestabilan produksi meski iklim terus berubah. Dengan strategi cermat dan dukungan teknologi, ancaman perubahan iklim justru bisa diubah menjadi peluang untuk menciptakan sistem energi yang lebih kuat dan tahan banting.
Baca juga: Meroket, Tambahan Energi Angin Global Capai 117 Gigawatt pada 2024
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya