KOMPAS.com – Pesisir Indonesia menghadapi ancaman yang kian nyata. Dari Sabang hingga Merauke, garis pantai yang dulu lebat oleh vegetasi terus mengalami degradasi.
Mulai dari abrasi, banjir rob, hingga hilangnya habitat pesisir perlahan menjadi pemandangan umum di berbagai daerah. Krisis iklim pun memperburuk situasi dan mempercepat kerusakan lingkungan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat pesisir.
Salah satu penyebab utama kerentanan ini adalah rusaknya ekosistem mangrove. Padahal, mangrove bukan hanya benteng alami yang melindungi pesisir dari gelombang dan badai, melainkan juga rumah bagi ribuan spesies laut, serta salah satu penyerap karbon paling efektif di dunia.
Mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan alam.
Akar-akarnya yang kuat efektif menahan laju abrasi, menyaring air laut, sekaligus menciptakan habitat yang ideal bagi ikan, udang, dan kepiting untuk berkembang biak.
Keberadaan mangrove juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Tak hanya itu, mangrove menyimpan potensi besar dalam mengatasi perubahan iklim. Data dari Blue Carbon Initiative dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat menyerap karbon 4–5 kali lebih banyak dibandingkan hutan daratan tropis.
Baca juga: Menteri LH: Mangrove dan Gambut Jadi Kunci Pangkas Emisi
Setiap hektare mangrove mampu menyimpan hingga 1.000 ton karbon dioksida (CO2). Artinya, emisi tahunan dari sekitar 30.000 mobil dapat diserap. Kemampuan ini menjadikannya sebagai solusi berbasis alam yang sangat efektif dalam mitigasi krisis iklim.
Di sisi lain, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023, lebih dari 637.000 hektare kawasan mangrove di Indonesia berada dalam kondisi rusak. Angka ini menjadi pengingat bahwa pelestarian mangrove adalah tugas bersama yang semakin mendesak.
Padahal, luas hutan mangrove terbesar di dunia terdapat di Indonesia dengan cakupan sekitar 31.000 kilometer persegi. Angka ini hampir menyamai luas Timor Leste atau kira-kira seukuran Provinsi Jawa Tengah.
Di tengah kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan, kesadaran dan aksi nyata dari berbagai pihak menjadi kunci. Salah satu langkah konkret datang dari KG Media melalui inisiatif bertajuk "Cerita Lestari", yakni upaya menanam harapan demi masa depan yang berkelanjutan.
Kesadaran itu melahirkan gagasan untuk menjembatani konsumsi informasi dengan aksi ekologis. Dengan jumlah pembaca yang besar dan pengaruh yang luas, media memiliki potensi besar untuk menggerakkan perubahan, tak hanya melalui narasi, tetapi juga lewat kontribusi langsung.
“Melalui 'Cerita Lestari', KG Media berupaya mengonversi jejak digital pembaca menjadi kontribusi nyata bagi lingkungan,” ujar General Manager (GM) Sustainability KG Media Dimas Fikhriadi.
Setiap tayangan artikel kerja sama yang masuk dalam kanal Lestari—kanal khusus yang menyoroti isu-isu lingkungan dan keberlanjutan—akan diakumulasikan dan dikonversi menjadi aksi penanaman pohon mangrove.
Semua inventory yang ditawarkan tayang di kanal ini telah diperhitungkan sebagai bagian dari tanggung jawab karbon.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya