KOMPAS.com - Laporan State of Global Water Resources 2024 dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengungkapkan siklus air di planet ini makin tidak berimbang.
Laporan ini juga memberi peringatan tentang cuaca ekstrem yang makin intensif di Asia dan Asia Tenggara, di mana kekeringan, banjir, dan siklon tropis telah mengacaukan ekonomi, sistem pangan, dan kehidupan masyarakat.
Secara global, hanya sekitar sepertiga DAS yang mengalami kondisi hidrologis "normal" tahun lalu, sementara hampir 60 persen berganti-ganti ke kondisi ekstrem.
Sederhananya, dua pertiga sungai di dunia sekarang berganti-ganti antara banjir dan kekeringan, sebuah pertanda siklus air yang makin sulit diprediksi.
"Air menopang masyarakat kita, menggerakkan perekonomian kita, dan menjadi penopang ekosistem kita. Namun, sumber daya air dunia berada di bawah tekanan yang semakin besar, dan pada saat yang sama, bencana terkait air yang lebih ekstrem memiliki dampak yang terus meningkat terhadap kehidupan dan mata pencaharian," kata Celeste Saulo, sekretaris jenderal WMO, melansir Eco Business, Rabu (24/9/2025).
Baca juga: Konsistennya Warga Badui Jaga Kawasan Hutan dan sumber mata air
UN Water memperkirakan bahwa saat ini 3,6 miliar orang telah menghadapi masalah akses air yang tidak memadai setidaknya satu bulan setiap tahun. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada tahun 2050.
Dunia juga masih jauh dari target untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 6 (SDG 6) yang berkaitan dengan air bersih dan sanitasi pada tahun 2030.
Lebih lanjut, pada tahun 2024, wilayah Asia dan Pasifik adalah wilayah di dunia yang paling banyak dilanda bencana akibat cuaca, iklim, dan bahaya terkait air.
Kekeringan parah bahkan mengganggu produksi dan rantai pasokan tanaman pokok seperti beras, kopi, dan gula.
Pada saat yang sama, curah hujan yang memecahkan rekor dan siklon tropis membawa kehancuran di wilayah ini.
Laporan WMO juga mencatat percepatan pencairan es.
Untuk tahun ketiga berturut-turut, gletser di seluruh dunia mengalami kehilangan massa secara meluas, diperkirakan mencapai 450 gigaton. Jumlah air tersebut cukup untuk mengisi 180 juta kolam renang ukuran Olimpiade.
Hal ini berkontribusi sebesar 1,2 milimeter terhadap kenaikan muka air laut global, yang meningkatkan risiko banjir bagi penduduk pesisir Asia.
Biaya ekonomi akibat kekeringan juga makin meningkat. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) baru-baru ini memperkirakan bahwa kerugian akibat kekeringan meningkat setiap tahunnya sebesar 3 hingga 7,5 persen.
Pertanian merupakan sektor yang paling terdampak, dengan hasil panen di tahun-tahun yang sangat kering menurun hingga 22 persen.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya