Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mengapa Target 70 Persen Pengurangan Sampah Plastik 2025 Jauh dari Harapan?

Kompas.com - 02/10/2025, 11:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Yulianto Suteja*

KOMPAS.com - Sampah plastik Indonesia di lautan membludak. Pada 2010, sebuah studi mengungkap, Indonesia diperkirakan menyumbang lebih dari 3,2 juta metrik ton sampah plastik ke laut per tahun, menempatkannya sebagai negara kedua terbesar setelah China dalam hal polusi plastik.

Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah, yang terbilang sedikit konkret adalah Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN-PSL) pada 2018.

Lewat Peraturan Presiden Nomor 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, pemerintah menetapkan target ambisius untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70 persen hingga 2025. Namun hingga pengujung tahun ini, target tersebut sepertinya sulit tercapai.

Hasil kajian Tim Koordinasi Nasional (TKN) PSL sejauh ini menunjukkan, penurunan kebocoran sampah laut baru mencapai 41,68 persen.

Berdasarkan riset kami, ada beberapa hal yang membuat target ini sulit tercapai, mulai dari masalah pengelolaan sampah di darat hingga minimnya insentif.

Pengelolaan sampah di darat buruk

Mayoritas sampah plastik yang mencemari lautan berasal dari daratan, akibat pengelolaan sampah yang buruk.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018-2021), limbah padat dari daratan berkisar antara 28,7-32,5 juta ton.

Sumber utama sampah-sampah itu berasal dari rumah tangga, pasar tradisional, bisnis, dan kawasan industri. Plastik menyumbang sekitar 11–17 persen dari total sampah yang dihasilkan setiap tahun.

Dalam periode tersebut, sekitar 10 juta ton sampah terbuang tanpa pengelolaan yang tepat, dan diperkirakan antara 0,2 hingga 1,7 juta ton plastik bocor ke laut.

Baca juga: Peta Global Ungkap Wilayah Laut Paling Terancam Sampah Plastik

Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah yang tidak memadai di daratan menjadi faktor utama yang memperburuk masalah sampah plastik di lautan.

Produksi plastik terus meningkat, daur ulang jalan di tempat

Sementara pengelolaan sampah buruk, produksi plastik nasional terus meningkat.

Kebijakan pengurangan sampah laut di antaranya sudah membuahkan regulasi larangan kantong plastik sekali pakai, program bank sampah dan EPR (Extended Producer Responsibility).

Bank sampah adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat di mana warga menabung sampah yang sudah dipilah untuk ditukar dengan uang. Sementara EPR adalah kebijakan yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup produknya, termasuk pengumpulan dan pengelolaan limbah pascakonsumsi.

Sayangnya, program-program ini belum berjalan optimal, salah satunya karena belum bersifat wajib dan minim penegakan hukum. Di samping itu, kita juga belum punya target ambisius untuk sistem guna ulang.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
Tropenbos Indonesia: Restorasi Gambut Swakelola di Tingkat Tapak Butuh Pendampingan
LSM/Figur
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
KLH Targetkan Dekontaminasi Cikande Selesai Akhir November
Pemerintah
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Puncak Musim Hujan, BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir
Pemerintah
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Menteri LH: Cengkih Terpapar Radioaktif Asal Lampung Tertangani
Pemerintah
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Menyelamatkan Lahan Kritis Indonesia dari Desa: Pelajaran Ekologi dari Perlang
Pemerintah
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
PLTN Pulau Gelasa dan Ujian Tata Kelola Risiko
Pemerintah
Gunung Ditutup karena Sampah: Cermin Buram Wisata Alam Kita
Gunung Ditutup karena Sampah: Cermin Buram Wisata Alam Kita
Pemerintah
Menebus Keadilan Arjuno Welirang
Menebus Keadilan Arjuno Welirang
Pemerintah
Fortifikasi Pangan, Strategi Efektif Wujudkan SDM Unggul dan Ketahanan Gizi Nasional
Fortifikasi Pangan, Strategi Efektif Wujudkan SDM Unggul dan Ketahanan Gizi Nasional
BrandzView
FAO Masukkan Salak Bali Dalam Daftar Warisan Pertanian Baru
FAO Masukkan Salak Bali Dalam Daftar Warisan Pertanian Baru
Pemerintah
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan, Ini Wilayah yang Harus Waspada
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan, Ini Wilayah yang Harus Waspada
Pemerintah
PSN Tebu untuk Etanol di Merauke Dinilai Tak Jawab Transisi Energi Bersih
PSN Tebu untuk Etanol di Merauke Dinilai Tak Jawab Transisi Energi Bersih
LSM/Figur
GBC Indonesia Dorong Prinsip Bangunan Hijau Jadi Solusi Iklim Lewat 'Greenship Award 2025'
GBC Indonesia Dorong Prinsip Bangunan Hijau Jadi Solusi Iklim Lewat "Greenship Award 2025"
Swasta
Agroforestri Intensif Berpotensi Masuk Pasar Karbon, tapi Terkendala Dana
Agroforestri Intensif Berpotensi Masuk Pasar Karbon, tapi Terkendala Dana
LSM/Figur
IAEA: Dekarbonisasi dengan Manfaatkan Nuklir Tak Boleh Abaikan Keamanan dan Keselamatan
IAEA: Dekarbonisasi dengan Manfaatkan Nuklir Tak Boleh Abaikan Keamanan dan Keselamatan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau