Oleh Yulianto Suteja*
KOMPAS.com - Sampah plastik Indonesia di lautan membludak. Pada 2010, sebuah studi mengungkap, Indonesia diperkirakan menyumbang lebih dari 3,2 juta metrik ton sampah plastik ke laut per tahun, menempatkannya sebagai negara kedua terbesar setelah China dalam hal polusi plastik.
Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah, yang terbilang sedikit konkret adalah Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN-PSL) pada 2018.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, pemerintah menetapkan target ambisius untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70 persen hingga 2025. Namun hingga pengujung tahun ini, target tersebut sepertinya sulit tercapai.
Hasil kajian Tim Koordinasi Nasional (TKN) PSL sejauh ini menunjukkan, penurunan kebocoran sampah laut baru mencapai 41,68 persen.
Berdasarkan riset kami, ada beberapa hal yang membuat target ini sulit tercapai, mulai dari masalah pengelolaan sampah di darat hingga minimnya insentif.
Mayoritas sampah plastik yang mencemari lautan berasal dari daratan, akibat pengelolaan sampah yang buruk.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018-2021), limbah padat dari daratan berkisar antara 28,7-32,5 juta ton.
Sumber utama sampah-sampah itu berasal dari rumah tangga, pasar tradisional, bisnis, dan kawasan industri. Plastik menyumbang sekitar 11–17 persen dari total sampah yang dihasilkan setiap tahun.
Dalam periode tersebut, sekitar 10 juta ton sampah terbuang tanpa pengelolaan yang tepat, dan diperkirakan antara 0,2 hingga 1,7 juta ton plastik bocor ke laut.
Baca juga: Peta Global Ungkap Wilayah Laut Paling Terancam Sampah Plastik
Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah yang tidak memadai di daratan menjadi faktor utama yang memperburuk masalah sampah plastik di lautan.
Sementara pengelolaan sampah buruk, produksi plastik nasional terus meningkat.
Kebijakan pengurangan sampah laut di antaranya sudah membuahkan regulasi larangan kantong plastik sekali pakai, program bank sampah dan EPR (Extended Producer Responsibility).
Bank sampah adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat di mana warga menabung sampah yang sudah dipilah untuk ditukar dengan uang. Sementara EPR adalah kebijakan yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup produknya, termasuk pengumpulan dan pengelolaan limbah pascakonsumsi.
Sayangnya, program-program ini belum berjalan optimal, salah satunya karena belum bersifat wajib dan minim penegakan hukum. Di samping itu, kita juga belum punya target ambisius untuk sistem guna ulang.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya