JAKARTA, KOMPAS.com - Besaran tunjangan rumah yang diterima anggota DPRD DKI Jakarta menjadi sorotan.
Berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken mantan Gubernur Anies Baswedan, anggota dewan mendapat Rp 70,4 juta per bulan, sementara pimpinan dewan memperoleh Rp 78,8 juta per bulan.
Besarnya angka ini dinilai fantastis karena seluruh pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Dalam aturan itu juga ditegaskan bahwa pengawasan penggunaan tunjangan dilakukan oleh Sekretariat DPRD melalui mekanisme verifikasi pertanggungjawaban.
Kepgub tersebut bahkan menekankan standar operasional prosedur untuk setiap pengeluaran agar akuntabilitas anggaran tetap terjaga.
Namun, besarnya nilai tunjangan tetap memantik pertanyaan publik soal kewajaran penggunaannya.
Hal ini mengingatkan kita pada polemik tunjangan rumah untuk anggota DPR RI sebesar Rp 50 juta.
Besarnya nilai tunjangan tersebut memantik reaksi publik, yang menganggap anggota dewan tak seharusnya menerima tunjangan rumah hingga puluhan juta.
Ternyata, tunjangan anggota dan pimpinan DPRD Jakarta malah lebih besar.
Tunjangan naik sejak 2022
Kebijakan tersebut sudah berlaku sejak 2022, ketika Anies Baswedan masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta.
Melalui Kepgub 415/2022, angka tunjangan ditetapkan lebih tinggi dibanding aturan sebelumnya.
Pada masa Gubernur Djarot Saiful Hidayat, Pergub Nomor 153 Tahun 2017 menetapkan tunjangan rumah sebesar Rp 70 juta untuk pimpinan DPRD dan Rp 60 juta untuk anggota.
Artinya, dalam kurun lima tahun terakhir, terjadi lonjakan lebih dari Rp 10 juta per anggota dewan.
Respons Wakil Ketua DPRD
Kontroversi tunjangan rumah itu juga sampai ke jalanan.
Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPSI) menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Mereka mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap gaji dan tunjangan anggota dewan.
Massa aksi menilai pengeluaran besar untuk anggota dewan tidak sebanding dengan kebutuhan mendesak masyarakat Jakarta.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Ima Mahdiah mengatakan, tunjangan rumah masih menjadi pembahasan.
"Lihat saja. Masih dalam pembahasan ke depan ya," ucap Ima di Gedung Balai Kota Jakarta, Kamis.
Ima menegaskan bahwa DPRD Jakarta terbuka terhadap kritik publik.
Ia memastikan apa yang diterima anggota dewan dikembalikan dalam bentuk kerja advokasi dan penyerapan aspirasi masyarakat.
"Terkait gaji dan tunjangan kami pastikan bahwa apa yang kami dapat dari gaji dan tunjangan juga dikembalikan kepada masyarakat melalui advokasi, melalui aspirasi dan sebagainya," kata Ima.
Komitmen Transparansi
Ima juga menekankan bahwa keterbukaan informasi keuangan sudah ia lakukan sejak awal menjabat.
Ia menyebut seluruh rincian gaji dan tunjangan telah dipublikasikan secara rutin, bahkan disertai laporan keuangan bulanan.
"Saya juga sudah mempublish sejak periode pertama gaji, tunjangan, dan laporan keuangan sampai dengan bulan ini. Jadi, masyarakat bisa bebas melihat dan kita bisa mempertanggungjawabkan kepada masyarakat," lanjut dia.
Menurut dia, besaran tunjangan sebenarnya tidak bersifat mutlak.
Kebijakan ini akan tetap menyesuaikan dengan kemampuan pendapatan asli daerah (PAD) Jakarta.
"Kami nanti akan sesuaikan dengan PAD yang ada," ucap Ima.
Tuntutan Audit BUMD
Selain soal tunjangan, massa aksi juga membawa isu lain. Mereka mendesak agar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta diaudit secara berkala.
Namun, Ima menyebut kewenangan audit berada di tangan eksekutif.
Kendati begitu, DPRD berjanji akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada Gubernur Jakarta Pramono Anung dan wakilnya, Rano Karno.
"Kalau audit BUMD itu ranahnya eksekutif, nanti kami juga menyampaikan agar diaudit secara berkala," ujar Ima.
(Reporter: Ruby Rachmadina | Editor: Tim Redaksi)
https://megapolitan.kompas.com/read/2025/09/05/06570501/kala-tunjangan-rumah-dprd-jakarta-lebih-besar-dari-dpr-ri