DI SUATU pagi dalam grafik statistik, tampaklah sebuah garis. Garis itu tak menanjak, hanya bergelombang pelan—seperti detak jantung yang mulai malas berdetak.
Ia bukan sekadar garis pertumbuhan, tapi seolah guratan nasib yang lelah menanjak. Di sanalah kita temukan angka industri pengolahan. Sektor yang dulu jadi lokomotif pembangunan, kini seperti kereta tua yang merayap di rel karatan.
Pada kuartal pertama 2025, ia hanya tumbuh 4,31 persen (Sumber : BPS). Ini bukan luka yang menganga, tapi sayatan kecil yang perlahan menghapus gairah.
Dari data BPS, industri nonmigas, penjaga bara produktivitas, pun hanya mencatat 4,55 persen. Ini bukan krisis, tapi juga bukan kebangkitan. Ini adalah senyapnya mesin-mesin dalam pabrik yang berdiri, tapi tak lagi bersuara.
Ekonomi kadang bukan soal angka. Ia tentang suasana batin kolektif, tentang irama produksi
yang tak terdengar di koran, tapi terasa di meja makan rumah tangga.
Di wajah buruh yang jam kerjanya dipotong, di manajer produksi yang menunda pembelian mesin baru. Ketika harapan ekonomi melemah, pabrik tetap berdiri, tapi produksinya tanpa jiwa.
Baca juga: Negara Nanggung: Naik Tak Sampai, Turun Tak Rela
Industri manufaktur kita hari ini adalah orkestra yang kehilangan konduktor. Instrumen lengkap, partitur tersedia, tapi tidak ada irama yang menyatukan.
Modal diam, konsumsi lesu, ekspor tersendat. Perekonomian berjalan seperti kapal besar di tengah kabut: perlahan, hati-hati, dan tak pasti apakah ia sedang menuju pelabuhan atau mengelilingi badai.
Dari sudut pandang ekonomi makro, pertumbuhan industri pengolahan adalah cermin dari investasi dan kapasitas produksi nasional. Namun grafik yang kita lihat hari ini, mencerminkan underutilization of capacity—kapasitas produksi ada, tapi tidak terpakai penuh.
Mesin ada, tapi waktu operasional dipangkas. Tenaga kerja tersedia, tetapi pesanan tidak cukup banyak.
Dalam kerangka teori Keynesian, pertumbuhan output sangat ditentukan oleh efektivitas permintaan agregat. Bila konsumsi melambat (4,89 persen), investasi lesu (PMTB hanya 2,12 persen), dan ekspor tidak memberi dorongan penuh, maka industri hanya berputar di tempat. Tak ada sinyal yang cukup kuat untuk menyalakan api produksi.
Sementara dalam teori neoklasik, investor dan produsen akan merespons insentif. Namun tampaknya insentif yang tersedia hari ini—baik fiskal maupun moneter—tak cukup kuat atau tidak menjangkau sektor yang benar.
Industri pengolahan kita terlalu bergantung pada input impor, dan terlalu sedikit melakukan riset teknologi sendiri.
Ekspor barang memang naik di Q1 2025 (6,88 persen), tapi pertumbuhan industri pengolahan tidak ikut melonjak.
Ini adalah gejala disconnect antara sektor luar negeri dan produksi dalam negeri. Banyak ekspor kita bukan dari barang hasil proses bernilai tambah tinggi, melainkan dari komoditas setengah jadi, atau bahkan mentah.