KOMPAS.com - Pemberian izin eksploitasi dan eksplorasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, oleh Kementerian ESDM menuai banjir kritik publik Tanah Air.
Kasus ini jadi perhatian setelah aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan spanduk protes tepat saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, 3 Juni 2025.
Tambang di pulau-pulau kecil yang ada di Raja Ampat dinilai melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
UU tersebut melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi.
Selain penggundulan hutan dalam skala luas, pertambangan juga dianggap memicu sedimentasi parah sehingga bisa mencemari ekosistem laut.
"Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya," tulis Pasal 35 huruf k UU Nomor 27 Tahun 2007.
Baca juga: Profil Lengkap 4 Pemilik Tambang Nikel di Raja Ampat
Masih di pasal yang sama, selain penambangan mineral, UU tersebut juga melarang aktivitas tambang migas, tambang pasir, hingga pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), ada empat perusahaan pemilik tambang nikel di Raja Ampat, antara lain, perusahaan PMA China PT Anugerah Surya Pratama, anak usaha PT Antam Tbk yakni PT Gag Nickel, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond Perkasa.
Menjawab tambang nikel di Raja Ampat yang dinilai melanggar regulasi namun tetap diizinkan, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno punya alasan.
Menurut Tri, luas lahan di Pulau Gag yang dibuka untuk pertambangan nikel tidak terlalu luas, terlebih sebagian lahan bekas tambang sudah direklamasi.
"Ini kan secara total bukaan lahannya juga enggak terlalu besar-besar amat. Dari total 263 hektare, 131 hektare sudah dilakukan reklamasi dan 59 hektare sudah dianggap berhasil penilaian reklamasinya," ujarnya.
Baca juga: Rekam Jejak PT Gag Nikel, Anak Usaha Antam Pemilik Tambang Raja Ampat
Selain itu, berdasarkan pantauan Kementerian ESDM dari helikopter, tidak tampak sedimentasi di area pesisir pulau. Oleh karena itu, aktivitas tambang PT Gag dinilai tidak bermasalah.
"Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi secara keseluruhan, sebetulnya tambang ini enggak ada masalah," kata Tri yang ikut mendampingi kunjungan kerja Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ke Pulau Gag.
Meski begitu, hasil pantauan tersebut tidak menjadi putusan final Kementerian ESDM terhadap tambang nikel di Raja Ampat.
Menurutnya, inspektur tambang yang diterjunkan Kementerian ESDM untuk mengecek seluruh pertambangan di wilayah Raja Ampat, yang akan memberikan laporan secara detail.