JAKARTA, KOMPAS.com - Para pelaku industri menyampaikan keresahan soal dibatasinya pasokan harga gas bumi tertentu (HGBT) hingga 48 persen.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet terkena dampaknya.
Pasalnya, industri tersebut termasuk di antara penerima manfaat program gas murah yang selama ini ditetapkan pemerintah dengan harga sekitar 6,5 dollar AS per MMBTU.
“Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga di atas 15-17 dollar AS lancar. Tapi, pasokan gas 6,5 dollar AS tidak lancar. Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga 15–17 dollar AS per MMBTU," ujar Febri dilansir siaran pers Kemenperin, Selasa (19/8/2025).
Baca juga: Investasi Rp 10,2 Triliun Masuk, Industri Tekstil Masih Dibayangi PHK dan Pabrik Tutup
"Ini kan aneh. Mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar,” tuturnya.
Febri melanjutkan, pembatasan HGBT tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan pemutusan hubungan kerja pekerja industri.
Selain itu, daya saing produk terancam akibat lonjakan harga gas yang mempengaruhi harga produk akhir.
“Lebih dari 100.000 pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan,” tegas Febri.
“Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri,” tuturnya.
Ia menekankan bahwa kestabilan pasokan energi merupakan syarat mutlak bagi keberlanjutan industri.
Jika tidak terjaga, upaya pemerintah mendorong investasi dan memperkuat daya saing akan terhambat.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (31/7/2025).Merespons hal tersebut, Kemenperin membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT untuk menerima laporan, keluhan, dan masukan dari para pelaku industri terkait kondisi gangguan pasokan gas yang mereka terima.
Febri mengungkapkan, beberapa sektor industri pengguna HGBT sudah mulai menyampaikan laporan kepada direktorat terkait di Kemenperin sebagai pembina sektornya.
"Kondisi yang dilaporkan di antaranya adanya pembatasan pasokan gas serta tekanan gas yang tidak stabil. Situasi ini memaksa sejumlah perusahaan untuk melakukan rekayasa operasional agar produksi tetap berjalan," kata Febri.
“Di lapangan, ada yang harus mematikan salah satu unit lini produksinya. Ada pula yang mengganti bahan bakar dari gas menjadi solar. Langkah itu memang bisa menjaga produksi tetap berjalan, tetapi konsekuensinya biaya produksi meningkat cukup signifikan. Bahkan, sudah ada industri yang menghentikan produksinya dan berpotensi merumahkan pekerjanya,” jelasnya.
Sementara itu, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dalam keterangan resmi pada Minggu (17/8/2025) menyebut bahwa pihaknya selalu mengupayakan ketersediaan pasokan gas bumi demi mendukung kelangsungan operasional seluruh pelanggan, khususnya sektor industri, yang memiliki multiplier effect terhadap perekonomian nasional.
Di sisi lain, PGN tetap mengingatkan pentingnya pengendalian pemakaian gas oleh pelanggan.
"PGN secara intensif telah mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menjaga keandalan dan stabilisasi pasokan gas bagi pelanggan di wilayah Jawa Barat dan sebagian Sumatera," ujar Corporate Secretary PGN, Fajriyah Usman.
"Saat ini tekanan gas di dalam infrastruktur pipa secara berangsur stabil dengan diperolehnya tambahan gas untuk mengisi stok gas dalam jaringan pipa. Kepastian tambahan pasokan gas lainnya juga telah dikonfirmasi," tuturnya.
Baca juga: Bahlil: 7 Sektor Industri Tetap Dapat Harga Gas Murah, Perluasan HGBT Masih Dikaji
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang